The Undetecable Strongest Job: Rule Breaker Bab 259


Bab 259 - Apa yang Tidak Dimiliki Benua Hancur


Sekitaran waktu saat Hikaru menunjukkan beberapa mantra pada Deena, Gorja yang merupakan utusan sedang bertemu dengan Pemimpin Tertinggi Vireocean, Patricia Zylberstein.

Dibandingkan dengan negara lain, ruang audiensinya lebih kecil, tapi semua perabotannya megah dan elegan. Suasan kelas satu di ruangan itu akan cukup untuk membuat siapapun jadi kewalahan—kecuali Gorja yang hanya bertingkah biasa-biasa saja.

"Apa kau yang merupakan bos di sekiar sini?" tanya Gorja. "Gubernur kota? Atau mungkin penguasa benua?"

Menyaksikan utusan itu bahkan tidak berlutut di depan penguasa mereka, para ksatria bahkan tidak mencoba menyembunyikan ketidaksenangan mereka. Meski begitu, Patricia tampaknya sama sekali tidak peduli akan itu.

"Tidak. Aku adalah perwakilan negara ini."

"Apa [negara] ini besar?"

"Tergantung. Seberapa besar negaramu?"

"Negaraku, Dream Maker, itu negara yang kecil, populasi-nya hanya sekitaran sepuluh ribu."

"Yah, itu memang kecil."

Bertentangan dengan perkiraaan, Gorja dengan lantang membocorkan informasi.

"Vireocean memiliki populasi lebih dari tiga juta."

"Itu sangat banyak."

Dia tampak sangat terkejut. Mungkin dia benar-benar tidak tahu. Setelah itu Gorja melanjutkan untuk mengajukan pertanyaan tentang negara ini, yang dijawab Patricia: berapa banyak kota, ras, industri, berapa banyak negara, luas benua, monster macam apa yang ada, dan banyak hal lai.

Patricia juga mengajukan beberapa pertanyaan dan memperoleh informasi. Di Benua Hancur, Grand Dream, orang-orang hanya membangun kota di pantai barat. Tidak ada pemukiman di tempat lain. Beberapa orang yang terusir dari kota tinggal di luar, tapi hanya itu. Meskipun benua itu sendiri sangat besar, monster-monster yang kuat mencegah mereka menguasai seluruh daratan.

"Dari apa yang kudengar, kota yang dibangun selama imigrasi awal telah lama dihancurkan." Kata Gorja. "Ada spekulasi bahwa reruntuhan masih tersisa, tapi tidak ada yang bisa memastikan itu. Tidak ada yang benar-benar mau mempertaruhkan nyawanya untuk memeriksanya."

"Monster-monster menyerang sehingga orang-orang harus meninggalkan kota?"

"Ya. Mereka akan benar-benar dimusnahkan, tapi penduduk asli, nenek moyang kami, menyelamatkan mereka dari kesulitan dengan menggunakan item sihir yang dapat membingungkan monster. Mereka kemudian melarikan diri ke pedalaman bersama-sama para pemukim baru."

"Oh... Kami tidak tahu kalau ada penduduk asli di Grand Dream."

"Rupanya mereka sedang mengawasi pemukim baru. Mereka mungkin berpikir kalau monster akan menyerang para pemukim baru ini karena mereka menarik terlalu banyak perhatian. Tapi penduduk asli merasa tidak enak hanya mengawasi, jadi mereka menyelamatkan para pemukim baru."

"Jadi berinteraksi dengan penduduk asli menghasilkan ras campuran. Kalian semua tampaknya memiliki rambut perak dan kulit ungu."

"Ya. Perak bulan dan ungu bunga lonceng musim gugur. Kami bangga dengan ciri khas kami."

Akhirnya, percakapan beralih ke tujuan para penjajah.

"Aku tahu ini terdengar egois, tapi kami ingin Gigy dikembalikan. Dia adalah rekan kami yang menyusup ke tempat ini."

"Jadi kalian sadar bahwa kalian egois. Pertama, ayo bicara tentang masalah umum."

"Kami akan menarik kapal kami sepanjang jalan kembali ke Dew Roke."

Patricia mendengus. (Bahkan tidak sepadan dengan diskusi. Sejak awal kalianlah yang masuk tanpa izin ke perairan kami.)

"Yang kuinginkan adalah Dew Roke, dan kompensasi atas kerusakan."

"Ada lebih dari seribu orang di pulau itu, kan? Semua dari mereka hanya untuk satu orang tidak terdengar adil."

(Oh, dia mendasarkan ini bukan pada kepentingan atau wilayah, tapi pada kehidupan manusia. Dia mengatakan ada sekitar 10.000 orang di Grand Dream. Mungkin bagi mereka, kehidupan manusia sangatlah dihargai. Biasanya ketika mata-mata ditangkap, kau akan meninggalkan mereka dan berpura-pura kalau keberadaan mereka tidak ada. Namun, mereka sedang menegosiasikan pengembaliannya.)

Alis Gorja berkerut.

"Kalian menyerang kami tanpa deklarasi perang sebelumnya." Kata Patricia. "Kami dan negara-negara lain siap untuk melawan kalian, tahu."

"Kalau begitu, bagaimana kalian akan bertanggung jawab karena meninggalkan pemukim asli? Sekitar seribu dari mereka menunggu bantuan datang. Tapi kalian membuang mereka begitu saja."

"Kalian ingin kami bertanggung jawab atas sesuatu yang terjadi lima abad lalu? Bagaimana kalian bisa mengatakan kami tidak mencoba menyelamatkan mereka? Kami tidak bisa menyeberangi laut karena adanya monster. Kalian harusnya sangat menyadari itu."

"………"

"Ini sangat sederhana. Kembalikan Dew Roke kepada kami."

Kerutan Gorja semakin dalam.

"Jadi kau benar-benar bersikeras untuk mendapatkan pulau itu kembali."

"Kami tidak memiliki toleransi terhadap penjajahan wilayah."

"Aku akan membicarakan masalah ini lebih dulu dengan komandan. Apa itu tidak masalah?"

"Tentu saja. Negosiasi baru saja dimulai."

"Oke. Aku akan kembali besok."

Gorja hendak pergi, namun saat itu dia tiba-tiba berhenti di tengah jalan.

"Ngomong-ngomong, apa kau bisa mengirimkan seorang yang dapat menggunakan sihir perbaikan ke kapal kami? Ada beberapa penyakit yang diderita di sana."

"Hmm? Apa kalian tidak punya dokter?"

"Dia juga tidak enak badan. Kami mencari pengguna sihir perbaikan yang terampil di Dew Roke, tapi kami tidak dapat menemukannya."

"Oh…"

Dew Roke adalah pusat perdagangan dan industri perikanan. Tidak lebih, dan tidak kurang. Kalau-kalau terjadi sesuatu, masyarakat yang menetap di sana bisa saja datang ke Ville Zentra untuk mendapatlan perawatan medis. Penyembuh yang mereka tempatkan di sana hanya bisa melakukan perawatan pertolongan pertama.

"Aku ingin tahu tentang penyakit ini. Penyembuh yang berpengalaman itu langka. Kau harus berbicara dengan seseorang dari institusi medis. Jika orang yang bertanggung jawab tidak keberatan, kau dapat membawanya. Tentu saja, Luke Landon akan menemani mereka."

"Tidak apa-apa. Terima kasih. Aku tidak tahu apakah ini cukup, tapi ini, kau dapat mengambil ini."

Gorja mengeluarkan tas kulit dari sakunya. Di dalamnya ada batu permata ungu yang seukuran ibu jari. Batu-batu itu tampak seperti batu kecubung, tapi warnanya lebih dalam.

"Apa ini?"

"Aku tahu kau tidak dapat menggunakan mata uang kami, jadi aku memilih beberapa permata."

"Hmm... Baiklah, aku akan menerimanya."

"Terima kasih."

Gorja kemudian pergi bersama Luke.

Patricia terkekeh, menahan tawanya. Biasanya orang akan berpikir mendapatkan kembali seluruh pulau dengan imbalan satu mata-mata adalah mustahil. Tapi Gorja bilang kau dia akan membicarakan tentang hal itu dengan komandan. Bahkan mereka menginginkan Penyembuh untuk menyembuhkan penyakit mereka.

"Mereka benar-benar menghargai kehidupan, ya?"

(Kami mungkin bisa mendapatkan kembali Dew Roke dengan mudah), pikirnya.

"Keterampilan negosiasiku cukup bagus, bukankah begitu?" tanya Patricia kepada seorang ksatria, yang tersenyum dan mengangguk.

Pemimpin Tertinggi dalam kondisi semangat tinggi.

---

Deena diliputi keterkejutan dari berbagai sihir api yang diperlihatkan padanya. Api membakar tanah di sana-sini, asap mengepul dari tempat-tempat yang hangus.

"Apa kau puas? Mantra yang lebih kuat sih ada, tapi mantara itu berbahaya." Kata Hikaru.

"Aku bisa menggunakannya." Kata Lavia.

"Kau tidah harus menggunakannya."

Lavia, yang mengenakan topengnya, sangat antusias untuk merapalkan mantra, meski begitu Hikaru menghentikannya. Mereka belum menunjukkan mantra yang rumit pada Deena, lagian itu adalah senjata rahasia Lavia.

"Um, apa kau hanya bisa menggunakan sihir api?"

Lavia dengan cepat merasa sedih.

"Hah? A-Ada apa ?!" Tanya Deena.

"Uh, ya. Hanya sihi api." Kata Hikaru. "Ada sihir tipe lain, tapi kami tidak bisa menggunakannya."

"B-Begitu ya. Itu sangat disayangkan."

"Tapi kami bisa menggunakan sihir penyembuhan."

Deena bereaksi tidak seperti sebelumnya dan mendekati Hikaru. "A-Apa kau barusan mengatakan sihir penyembuhan?!"

"Kau terlalu dekat."

"Aku ingin melihatnya!"

"Kubilang kau terlalu dekat." Hikaru mundur sedikit darinya.

"Apa kau bisa melakukannya?" Hikaru melirik Paula.

"Bisa sih, tapi tanpa luka, kita tidak bisa memastikan apakah ada sesuatu yang sembuh."

"Kau ada benarnya."

"K-Kau bisa melukaiku semaumu! Ayo!" Kata Deena, menyingsingkan lengan bajunya dan menawarkan lengannya.

Hikaru tidak terlalu suka melukai wanita. Deena berjongkok, meletakkan tangannya di tanah, dan memukulnya jarinya dengan batu.

"Apa? Apa yang kau lakukan?!"

"Aduh! Owwww! Itu sakit sekali!"

"Jelas sakit lah! Apa kau ini tolol?! Berikan dia sihir penyembuhan sekarang!"

"A-Aku mengerti!"

Paula dengan cepat menghampiri Deena dan meraih tangannya. Kuku di jari tengahnya terbelah, dan darah menetes dari situ.

"Wahai Tuhan yang ada di dalam surga, dalam nama-Mu aku meminta keajaiban. Engkau yang memiliki berkah kehidupan di tangan kanan-Mu, dan ditangan kiri-Mu berkah kematian--"

Cahaya keemasan menyelimuti tubuh Paula saat dia merapalkan mantra itu. Cahaya itu kemudian berpindah dari tangannya ke Deena, yang berlinang air mata dan berkeringat.

"O-Oh…"

Darah di lukanya menggelegak dan Deena merasakan gatal saat rasa sakit itu menghilang. Tidak butuh satu menit hingga luka itu menutup sepenuhnya.

"L-Luar Biasa."

"Dasar tolol!"

"Eeek!"

Hikaru meraih kerah baju Deena dan menariknya berdiri.

"Menurutumu siapa yang bahkan berpikir untuk melukai dirinya sendiri?! Hanya orang tolol yang akan melakukan itu! Akulah yang menjamin keselamatanmu, namun kau sendiri yang malah merusaknya! Kau ini benar-benar tolol!"

"Maafkan aku."

Deena merasa sangat sedih hingga seperti dia akan menghilang. Dia hampir menangis.

"Silver Face." Lavia meletakkan tangannya di bahu Hikaru, membuatnya memulihkan ketenangannya.

"Kita sudah selesai di sini."

Mereka pun kembali ke kota.



Post a Comment

Previous Post Next Post