[LN] Saijo no Osewa Volume 3 - Bab 4 Bagian 3

Bab 4 Bagian 3 (dari 5)
Porseni


Untuk jaga-jaga, aku menghubungi Shizune-san bahwa aku pergi ke arcade bersama Narika.

Sesampainya di depan arcade, kami turun dari mobil yang disiapkan oleh Keluarga Miyakojima dan segera memasuki arcade.

Dengan ini, sudah tiga kali.

Pertama kali dengan Tennoji-san, kedua dengan Hinako, dan ketiga dengan Narika. Aku tidak menyangka bahwa aku akan menemani Ojou-sama terbaik di Akademi Kekaisaran pergi ke arcade yang sama.

Sekarang setelah kami ada di sini, pertama-pertama—aku harus waspada dan memeriksa wajah orang-orang di sekitarku.

“Mengapa kau melihat-lihat sekeliling seperti itu, Itsuki?”

“Tidak kenapa-kenapa, aku hanya memeriksa apakah ada kenalanku di sini...”

Saat aku datang ke tempat ini dengan Tennoji-san sebelumnya, aku bertemu dengan teman masa kecilku. Pada akhirnya, saat itu kami tidak membicarakan apa-apa.., jadi aku merasa sedikit canggung dan tidak ingin bertemu dengannya kali ini jika memungkinkan.

Kalau sejak awal aku memang berencana untuk bertemu dengannya sih tidak masalah..., tapi setelah waktu itu, aku mengiriminya email dan dia tidak menjawabnya. Karenanya, jujur aku takut bertemu dengannya sekarang.

“Tapi ngomong-ngomong, Itsuki..., seriusan Konohana-san dan Tennoji-san datang ke sini?”

“Begitulah.”

“I-Itu mengejutkan. Aku sendiri juga belum pernah datang ke sini sebelumnya, tapi..., aku sama sekali tidak bisa membayangkan kalau mereka berdua akan datang ke tempat ini.”

Aku setuju sekali dengannya tentang itu.

“Yah, untuk saat ini, ayo kita memainkan game yang ada.”

Sama seperti Tennoji-san dan Hinako, aku membuat Narika memainkan berbagai macam game.

“Hm? ...Aku mengerti, jadi seperti ini, ya!”

Dibandingkan dengan dua Ojou-sama lainnya, Narika jauh lebih cepat beradaptasi dengan game yang dia mainkan. Pada saat memasuki putaran kedua dari game balap, dia sudah bisa melakukan basic driving. Dalam permainan ritme pun juga demikian, jika itu adalah jenis permainan yang menggerakkan tubuh, dia bisa mencapai skor rata-rata pada percobaan pertama.

Mungkin saja, di sini lah tempat di mana Narika bisa bersinar. Yah, meskipun Ojou-sama yang bersinar di arcade itu adalah hal yang cukup baru sih...,

“Ini apa, Itsuki?”

“Itu Hoki Udara.”

Sejauh ini, semua Ojou-sama yang kubawa ke sini tertarik pada Hoki Utara. Yah, meskipun Tennoji-san awalnya mengira itu adalah piringan terbang, sementara Hinako mengira itu adalah coaster...

“Oh, jadi ini permainan di mana kau memukul cakram putih ini, ya.”

Narika langsung mengerti cara memainkan game tersebut. Tampaknya, dia memiliki intuisi yang sangat tajam untuk game yang melibatkan gerakan fisik.

“Itsuki! Aku ingin mencobanya!”

“Oke.”

Aku memasukkan koin 100 yen dan kemudian menghadapi Narika.

Setelah itu, kami asyik bermain Hoki Udara untuk sementara waktu, tapi——

“...Seriusan nih?”

Tau-tau saja, tiga puluh menit telah berlalu, dan aku benar-benar terperangah dengan hasil pertandingan sejauh ini.

“Dengan ini aku sudah menang tiga kali berturut-turut!”

Baru saja, kami menyelesaikan set ketiga. Pada saat pertengahan set pertama, aku bisa bertanding dengan baik melawan Narika, tapi mulai dari situ, pertandingan menjadi permainan satu sisi dari Narika saat dia sudah mulai mengusai Hoki Udara.

Aku ingin tahu, apa Hoki Udara itu memang permainan yang mendominasi seperti ini, ya...?

Aku sama sekali tidak mendapatkan satu poin pun di set ketiga.

Kalau begini sih, ini bukan lagi aku sedang bermain game, lebih tepatnya aku sedang diinjak-injak.

“Bi-Bisa kita melakukannya sekali lagi?”

“Tentu saja, aku terima tantanganmu.”

Kalau kubiarkan seperti ini aku akan frustasi, jadi aku ingin bermain satu set lagi.

Aku harus melakukan seperti yang dilakukan Hinako...

Aku mencoba tipuan yang sebelumnya dilakukan Hinako, yaitu berpura-pura memukul kepingan, dan saat lawan membuat celah, aku memukul kepingan ke arah gawang.

“Ugh.”

Narika dengan mudah melakukan serangan balik ke arahku.

“...Kupikir ini mirip dengan squash karena ini adalah permainan yang menggunakan refleks, tapi rupanya benar-benar berbeda. Bahkan dengan kekuatan anak kecil pun, selama dipukul dengan serius, kau akan dapat dengan mudah melampui batas refleks dan penglihatan dinamis. Tidak ada ruang untuk penilaian situasional, jadi ini kurang kompetitif, tapi ini adalah permainan yang intuitif dan dibuat dengan baik.”

Sebagai putri dari pemilik perusahaan produsen barang olahraga, Narika menganalisis game Hoki Udara ini.

Mungkin saja, dalam waktu dekat, keluarganya Narika akan menjual kotak hoki udara.

“Fuu... Aku benar-benar puas!”

Setelah bermain game sementara waktu, Narika mengatakan bahwa dia sudah merasa segar kembali.

“Ini pertama kalinya aku datang ke arcade, tapi tempat ini cukup menarik juga!”

“...Kau benar.”

Karena daritadi aku terus-terusan dikalahkan olehnya, perasaanku saat ini justru jadi campur aduk. Apa mungkin Tennoji-san juga merasa seperti ini ketika dia terus-terusan kalah dariku, ya?

“...Selain itu, dengan ini sekarang aku bisa menyusul ketertinggalanku dari Konohana-san dan Tennoji-san,” gumam Narika.

Ketertinggalan...? Untuk sesaat aku tidak tahu apa yang dia maksud, tapi segera aku mengerti. Mungkin dia mengacu pada fakta bahwa aku datang ke arcade dengan dua Ojou-sama itu terlebih dahulu.

“Ya ampun, ‘kan tidak perlu sampai memiliki rasa persaingan seperti itu.”

“...Itu perlu,” ucap Narika, dengan suara yang pelan. “Lagian..., akulah yang pertaman kali bertemu denganmu.”

Menurunkan pandangannya, Narika berbicara dengan lembut.

“Aku ini orang yang bertemu denganmu lebih awal dari siapa pun di akademi loh. Tapi tau-tau saja, kau dikagumi oleh banyak orang...”

Saat dia mengatakan itu padaku, ekspresinya tampak seperti anak kecil yang merajuk. Bibirnya cemberut, dan ekspresinya terlihat merasa seperti merasa bosan.

Ini, dia bukan merasa bersaing, tapi——

“...Mungkinkah, kau cemburu?”

“Ap—?!”

Saat aku mengatakan itu, wajah Narika langsung menjadi merah padam.

“Ce-Cemburu katamu?! A-Aku tidak cemburu kok...?!”

“Kurasa begitu. Maaf, sudah mengatakan sesuatu yang aneh.”

Karena Narika adalah seseorang yang aku bisa merasa santai saat bersamanya, aku jadi lengah dan blak-blakan mengatakan apa yang kupikirkan.

Tapi, ketika aku dengan ringan menundukkan kepalaku, entah mengapa Narika menampilkan ekspresi yang merasa kesulitan.

“...Tidak, kau benar.”

Dengan suara yang bergetar, Narika menyangkalku.

“Ce-Cemburu...”

“Apa?”

Seolah mengatakan bahwa dia tidak ingin berpura-pura bahwa apa yang dia rasakan itu tidak ada..., Narika berseru padaku seolah dia memprotesku.

“A-Aku... Ce-Cemburu!”

Dengan rona wajah yang memerah hingga ke telinganya, Narika menatap lurus ke arahku.

“I-Itu...”

“...”

Aku tidak tahu bagaimana harus menanggapinya.

Tidak seperti Hinako dan Tennoji-san, kupikir aku bisa bersikap lebih santai ketika bersama dengan Narika—tapi sekarang aku sadar kalau itu tidaklah demikian.

Mata yang berkaca-kaca, pipi yang memerah.

Aku sama sekali tidak bisa bersikap santai di depan Narika yang menatapku dengan tatapan seperti itu.

Saat ini, aku benar-benar berpikir kalau Narika itu imut——

“Narika Ojou-sama.”

Pada saat itu, seseorang memanggil Narika dari samping.

Sebelum kami menyadairnya, tau-tau saja seorang pelayan dari Keluarga Miyakojima berbusana kimono berdiri di saping kami.

“Sebentar lagi gelap, jadi saya datang menjemput anda.”

“Y-Ya, aku mengerti.”

Karena ada seorang wanita cantik mengenakan kimono di arcade, kami jadi cukup menonjol, jadi kami segera pergi ke luar untuk menghindari perhatian banyak orang.

“Dan juga, Tomonari-sama.”

Setelah dibawa ke dalam mobil Keluarga Miyakojima, pelayan itu memberitahuku,

“Kepala Keluarga... Musashi-sama ingin bertemu dengan anda.”

“...Eh?”

---

Setelah kembali ke kediaman Keluarga Miyakojima dengan menaiki mobil, aku berpisah dengan Narika dan pergi menemui Musashi-san.

Setelah masuk melalui pintu depan, aku lanjut berjalan menyusuri lorong yang panjang. Begitu aku membuka pintu geser dan memasuki ruangan bergaya Jepan dengan tikar tatami, aku melihat seorang pria yang tampak tak kenal takut duduk di belakang ruangan.

“La-Lama tidak bertemu.”

“...Ya.”

Pria ini adalah Musashi Miyakojima..., ayahnya Narika.

Saat ini, dia adalah presiden dari salah satu produsen barang olahraga terbesar di Jepang, dan karena dia memiliki keterampilan yang sangat baik, kinerja bisnisnya terus meningkat dengan mantap.

Aku memiliki kenangan yang buruk dengan orang ini.

Saat masih kecil, aku dibentak olehnya karena membawa Narika keluar dari mansion. Karena saat itu memang akulah yang salah, jadi aku tidak punya dendam apa-apa padanya. Namun, ketakutan yang kurasakan saat itu begitu kuat terukir dalam ingatakanku sampai-sampai aku gemetar ketakutan hanya dengan menghadapinya seperti ini.
 
Pelayan yang memanduku ke sini membungkuk sopan dan meninggalkan ruangan. Sekarang di ruangan yang hanya ada kami berdua saja, Musashi-san dan aku sama-sama masih menutup mulut kami.

...Kenapa dia tidak mengatakan apa-apa? Aku dipanggil ke sini olehnya, kan?

Aku bingung sejenak, tapi Musashi-san tidak tampak merasa terganggu.

Setelah menunggu beberapa saat dengan perasaan yang tak tertahankan, Musashi-san akhirnya mulai membuka mulutnya dengan perlahan.

“Akhir-akhir ini, kudengar kau ikut campur dalam sosialisasinya putriku,” ucap Musashi-san.

Layaknya gendang Jepang telah dipukul di depanku, suaranya bergema jauh di dalam tubuhku. Meskipun suaranya tidak keras, tapi itu terdengar kuat. Tidak diragukan lagi, kekuatan itu adalah sesuatu yang dipancarkan oleh pria yang duduk di depanku saat ini.

“Y-Ya. Kami bekerja sama.”

“Bekerja sama, ya...”

Musashi-san mengangguk memahami.

Sejauh ini, tidak ada tanda-tanda kalau dia berniat menegurku.

Sementara aku merasa lega, suatu pertanyaan muncul di benakku.

“Erm..., apa anda tahu seperti apa reputasi Narika di akademi?”

“Sedikit,” jawab Musashi-san, tanpa merubah ekspresinya. Tapi kemudian, dia berkata dengan suara yang tegas. “Narika tidak perlu kau lindungi seperti yang kau pikirkan.”

Perasaan mengintimidasi yang tak terlihat oleh mata menguasaiku. Itu membuatku secara refleks berniat untuk menundukkan kepalaku sekarang juga dan meminta maaf. Dan intinya, aku ingin keluar dari ruangan yang mengerikan ini.

Tapi, lebih daripada keinginanku itu, ada yang suatu hal yang membuatku penasaran.

Terhadap pertanyaanku sebelumnya, Musashi-san menjawab “kurang lebih”... Mungkin, Musashi-san tidak tahu masalah seperti apa yang sedang dihadapi Narika saat ini.

“...Aku tidak memiliki pemikiran untuk melindunginya dari sudut pandang superior. Meski begitu, itu tidak dapat disangkal bahwa Narika sedang mengalami pergumulan.”     

Aku tidak merasa ingin mendukung atau membantu Narika. Mungkin dulu memang ada, tapi sekarang tidak. Sekarang setelah aku mengetahui kekuatan Narika, aku hanya ingin agar orang-orang di sekitarnya tahu lebih banyak tentang dia.

Ini bukanlah kebaikan.

Ini adalah keinginan pribadiku karena aku menghormati Narika.

“Bergumul, ya?”

Mendengar jawabanku, Musashi-san bergumam dengan suara yang pelan.

“Itu gara-gara kamu.”

“...Eh?”

Aku diberitahu sesuatu yang tidak aku mengerti.

Narika bergumul gara-gara aku...?

“Sudah cukup.”

Mengatakan itu, Musashi-san berdiri membuka pintu geser di bagian belakang ruangan. Saat dia hendak pergi, secara tidak sadar aku memanggilnya.

“Tu-Tunggu sebentar, barusan, apa yang anda maskud——”

“Keluar... Aku sibuk.’

Tanpa menoleh ke arahku, Musashi-san meninggalkan ruangan. Pintu geser pun ditutup, dan sosoknya menghilang dari pandanganku.

Di saat yang sama, pintu geser di belakangku terbuka, dan kemudian seorang pelayan masuk ke ruangan.

“Saya pandu ke pintu masuk.”

Tanpa bisa memberikan tanggapan, aku mengikuti pelayan itu dan menuju pintu keluar mansion. Dalam perjalan ke sana, aku mendengar suara langkah kaki yang kuat.

...Dojo, ya?

Itu adalah dojo pribadi di kediaman ini.

Melihat dojo itu, aku jadi bernostalgia.

Bagaimanapun juga, di situlah aku dan Narika bertemu.

“...Erm, sebelum pulang, boleh tidak kalau aku menemui Narika dulu?”

“Ya, tidak apa-apa”

Karena kupikir mereka akan menolak, aku merasa sedikit terkejut.

Aku menundukkan kepalaku dengan ringan ke pelayan, dan kemudian pergi menemui Narika.

Ketika aku memasuki dojo, aku melihat Narika sedang memegang pedang bambu. Keringat yang bercucuran di pipinya memantulkan sinar matahari sore yang berkilauan, dan dengan punggung yang tegak serta ekspresi bermartabat, dalam diam dan dengan sungguh-sungguh Narika mengayunkan pedang bambunya.

“...Oh, Itsuki, ya?”

Narika menyadari kehadiranku dan perlahan menoleh ke arahku.

Aku tidak tahu berapa lama, tapi sepertinya untuk sementara waktu aku terpana dengan sosoknya Narika.

“Sedang latihan?”

“Ya. Bagaimanapun juga porseni sudah dekat,” ucap Narika, melepaskan kuda-kudanya. “Apa yang kau bicarakan dengan ayahku?”

Untuk sesaat, aku tidak bisa menjawab pertanyaan itu.

Diberitahu bahwa Narika bergumul gara-gara aku sedikit mengganguku, tapi kurasa aku tidak perlu repot-repot memberitahukan soal itu kepadanya.

“...Yah, bukan sesuatu yang penting.”

“Begitu ya. Yah, ayahku juga cukup menyukaimu, jadi dia pasti tidak akan mengatakan sesuatu yang aneh.”

“Eh?”

Kata-kata yang dia ucapkan membuatku meragukan pendengaranku.

“Musashi-san, menyukaiku...?”

“Ya, dia bilang begitu,” ucap Narika, tampak senang.

Tapi di sisi lain, aku justru kebingungan.

Mungkinkah... Musashi-san berbohong ke putrinya?

Apakah dia berpikir bahwa dia tidak ingin hubungan sosial putrinya terpengerauh oleh perasaaan suka dan tidak suka pribadinya...?

Aku tidak tahu niat Musashi-san yang sebenarnya, tapi aku tidak punya keberanian untuk menanyainya.

Sekarang juga sudah larut, jadi mungkin lebih baik aku segera pulang, tapi——

“...Narika, apa ada pedang bambu lain?”

Saat Narika hendak melanjutkan latihanya, secara tidak sadar aku memanggilnya.

“Hm? Ada sih, emang kenapa...?”

“Mumpung lagi di sini, aku akan menemanimu latihan. Yah, aku tidak tahu sih apa dengan itu aku bisa membantu atau tidak.”

Bisa dibilang, ini adalah bentuk terima kasihku karena dia telah mengajariku cara bermain tenis.

“Kau tentu akan membantu! Aku akan mengambil pedang bambu untukmu, jadi tunggu sebentar!”

Dengan langkah kaki yang berderap, Narika berjalan menuju ruang penyimpanan dojo dan menyiapkan pedang bambu untukku.

Ngomong-ngomong, aku tidak memakai armor. Bagaimanapun juga, matahari sudah hampir terbenam, dan aku juga tidak berniat berlatih terlalu serius.

“Oh iya, Itsuki, sebelum mulai biarkan aku memberitahumu ini dulu.”

“Apa?”

Saat kami sedang mengambil kuda-kuda dengan pedang bambu masing-masing, Narika memberitahuku,

“Aku orangnya tidak suka menahan diri.”

Ujung pedang bambu kami saling bersentuhan, dan saat berikutnya, Narika mendekatiku dengan kecepatan yang nyaris tak terlihat. Tubuhnya tidak bergerak naik turun, jadi sulit bagiku merasakan jarak antara aku dengannya. Terperangkap lengah, aku mundur selangkah, tapi lebih epat dari itu, pedang bambunya Narika sudah berada tepat di atas kepalaku.

Kehilangan keseimbangan, aku terjatuh di lantai.

“Oo-oh...?!”

“Jangan khawatir, aku tidak akan menyerang dengan fatal. Jadi kau bisa mencobanya lagi sesukamu.”

Mengatakan itu, Narika mengulurkan tangannya padaku.

Meraih tangannya, aku berdiri dan kembali mengambil kuda-kudaku.

Padahal aku sendiri juga telah mempelajari kendo...

Aku tidak memberitahunya pada Narika, tapi sebagai bagian dari teknik pertahanan diriku, aku diajari kendo oleh Shizune-san. Tapi, kendo adalah seni berpedang..., yang artinya, kendo merupakan seni bela diri yang tidak dapat dipraktikkan tanpa senjata khusus. Itu tidak cocok dengan seni bela diri yang dirancang untuk bisa melindungi diri dalam situasi darurat di mana seseorang bahkan tidak dapat menyiapkan senjata, jadi aku tidak mempelajarinya secara mendalam.

Karenanya, paling-paling, teknik kendo hanya sebatas seorang amatir.

Tapi di sisi lain, Narika luar biasa.

“Ayo, sekali lagi!”

Aku terjatuh lagi, dan Narika kembali mengulurkan tangannya padaku.

Saat aku kembali memegang pedang bambuku dan mengambil kuda-kuda, dari depanku, aku merasakan pancaran kekuatan yang luar biasa.

Jadi ini ya Narika...

Hanya dengan menghadapinya saja aku sudah merasakan intimidasi yang kuat. Apalagi, itu persis dengan apa yang kurasakan dari Musashi-san sebelumnya.

Apakah ini Narika yang dilihat semua orang...?

Menakutkan.

Dia pribadi mungkin tidak memiliki niat sedikit pun untuk melakukan itu, tapi meski begitu aku merasakan adanya tekanan darinya yang seolah-olah dia sedang mengacungkan pisau ke arahku.

Pada akhirnya, aku kalah dari Narika dengan hampir tidak bisa melakukan apa-apa sampai akhir.

Tidak dapat menghentikan pedang bambu yang dia ayunkan, aku terhuyung-huyung.

“Ka-Kau baik-baik saja, Itsuki?!”

“Ya... Kurang lebih.”

Narika buru-buru mendekatiku.

“Ma-Maaf..., ketika semangatku tinggi, aku selalu menjadi seperti ini..., jangan membenciku, ya...”

Mungkin merasa kalau dia sudah terlalu berlebihan, Narika meminta maaf padaku dengan mata yang tampak berkaca-kaca.

Melihat dia yang seperti itu, secara tidak sadar aku hampir tertawa. Lagian, dia benar-benar berbeda dari sebelumya. Padahal tadi dia kuat sekali seperti iblis, tapi sekarang dia berubah menjadi gadis penakut. Kurasa, kesenjangannya yang besar ini mirip dengan Hinako.

“...Hebat.”

Setelah mendapatkan kembali ketenanganku, hanya rasa hormat kepadanya yang tersisa di hatiku,

“Kau benar-benar kuat, Narika.”

“Yah, aku tidak mahir dalam banyak hal. Karenanya, setidaknya aku ingin membusungkan dadaku pada bidang yang aku kuasai..., jadi aku berlatih sangat keras.”

“Jadi kau juga punya kekuatan untuk mengetahui kelemahanmu sendiri, ya?”

Karena dia tidak mahir dalam bidang lain, jadi setidaknya bidang yang satu ini dia pasti telah memolesnya sebaik mungkin. Tekad seperti itu tidak akan bisa dia miliki jika dia tidak mengetahui kelemahannya sendiri.

Sementara aku terkesan dengan kata-kata Narika..., entah mengapa, Narika justru menampilkan eskpresi cemberut.

“...Seperti yang kupikirkan, kau sudah melupakannya.”

“Eh?”

“Kekuatan untuk mengetahui kelemahan diri sendiri adalah kata-kata yang kau beritahukan padaku loh,” ucap Narika, menghela napas. “Dulu, saat aku bilang kalau kamu kuat, kau mengatakan itu kepadaku.”

“......Aah.”

Kenangan masa lalu hidup kembali di kepalaku.

[Kau lebih kuat dariku, ya, Itsuki.]

Saat kami masih kecil, Narika pernah mengatakan itu padaku.

Aku tidak begitu mengingatnya dengan dengan pasti, tapi sepertinya dia mengatakan itu ketika aku mengusir serangga yang masuk ke dalam ruangan, atau ketika aku menenangkan dia yang menangis karena dimarahi Musashi-san.

Saat itu, bagaimana ya aku menanggapi kata-katanya? Seingatku, apa yang kukatakan saat itu adalah——

“...Aku gak kuat kok.”

Aku memberitahunya bahwa aku bukanlah orang yang kuat.

“Aku hanya mengetahui kelemahanku... Jadi aku mencoba berusaha sebaik mungkin.”

Itulah yang kukatakan pada Narika.

Saat aku mengingat apa yang kukatakan padanya hari itu, Narika meberiku senyum lembut.

“...Kata-katamu itu, sampai saat ini pun masih terukir di hatiku.”

Narika meletakkan tangannya di dadanya, seolah-olah dia ingin menyimpan kenangan yang berharga.

Ini membuatku diriku yang dulu dan yang sekarang terhubung.

Karena keluargaku miskin, jadi aku sudah mengalami kesulitan sejak masih kecil. Bahkan setelah aku menjadi siswa SMA, tiap hari aku harus bekerja sambilan, dan karena itu, aku jadi sulit untuk belajar.

Saat ini pun, aku sedang bekerja keras mencoba membiasakan diriku dengan lingkungan Akademi Kekaisran dan pekerjaanku sebagai pengurus. Meskipun aku melakukan itu karena aku menyukainya, tapi bukan berarti itu kulalui tanpa adanya kesulitan.

Dulu dan sekarang aku masih berusaha sebaik mungkin..., aku berjuang mati-matian. Aku tidak punya waktu untuk pamer, jadi kadang kala aku harus bergantung pada orang lain saat membutuhkan sesuatu.

Dilihat dari sudut pandang luar, aku mungkin terlihat menyedihkan.

Namun, karena aku terlihat menyedihkan itulah, aku berhasil mengatasi kesulitan yang aku hadapi.

“Itu sebabnya, jika memungkinkan aku tidak ingin menahan diri di porseni nanti. Ini... Ini adalah sesuatu yang bisa kutemukan berkat kamu, inilah yang membuatku berusaha sebaik mungkin,” ucap Narika, dengan tatapan yang merupakan campuran dari rasa malu dan rasa bangga.

Narika juga berusaha mati-matian.

Jika demikian—aku yakin bahwa perasaannya itu haruslah dihargai.

Porseni sudah ada di depan mata.

Namun, imej buruk Narika masih belum sepenuhnya hilang.

Sesuatu, apa ada sesuatu yang bisa kulakukan dalam hal ini untuknya...?

Menyembunyikan pemikiran seperti itu dalam benakku, aku meninggalkan kediaman Keluarga Miyakojima.



3 Comments

Previous Post Next Post