Seiken Gakuin no Maken Tsukai Volume 6 - Bab 3

Bab 3
Pesta Ulang Tahun Tessera


“Ya, seperti yang sudah dibahas sebelumnya, ada banyak jenis Pedang Suci—”

“Fiuh...”

Menahan perasaan ingin menguap, Leonis mengabaikan penjelasan dari guru. Akademi Excalibur memungkinkan siswa mereka untuk menyusun dan memilih kurikulum mereka secara bebas. Namun, Riselia lah yang menyusunkan kurikulumnya Leonis, dan anak lelaki itu tidak menganggap pembelajaran itu terlalu menarik. Bagaimanapun juga, itu tidak seperti dia bisa menggunakan Pedang Suci-nya sendiri.

Mungkin aku terlalu memaksakan diri.

Mengistirahatkan dagunya di atas meja, Leonis menggosok-gosok matanya yang mengantuk. Malam sebelumnya ada insiden yang tak terduga, dan pagi harinya dia tidak hanya mengawasi latihan Riselia, tapi juga membiarkan gadis itu menyedot darahnya. Karenanya, dia merasa sedikit anemia saat ini.

Saat masih menjadi Raja Undead, dia tidak butuh yang namanya tidur, namun tubuhnya yang saat ini baru berusia sepuluh tahun membutuhkan waktu tidur yang berkualitas.

Sungguh tubuh yang tidak bisa diperbaiki.

Saat dia menahan untuk menguap lagi...

“Leo, apa kamu baik-baik saja?” Riselia, yang saat ini duduk di kursi di sampingnya, menanyakan itu dengan cemas.

“Kamu ngantuk, Leo?” goda Regina. “Kamu selalu bisa menggunakan dadaku sebagai bantal loh kalau kamu mau.”

“Ti-Tidak, aku baik-baik saja!” panik, Leonis langsung menggelengkan kepalanya. “Lagian, bagaimana aku bisa melakukan itu? Atau apa maksudmu bantal pangkuan?” tanya Leonis, lelah.

“Hm, kurasa bantal dada akan jauh lebih enak,” ucap Regina, menyeringai.

Entah seberapa serius kata-katanya itu, tapi dia menekankan dadanya ke bahu Leonis.

“Re-Regina?!” cicit Leonis, wajahnya memerah.

“Hei kalian, fokusla pada pelajaran,” bisik Riselia, sang murid teladan, pada mereka.

Leonis pun menatap ke arah guru di depan podium lagi.

“Terlepas dari jenis kelaminnya, periode di mana seseorang memanifestasikan Pedang Suci adalah pada usia lima tahun paling awal dan rata-rata pada usia dua belas tahun. Tenunya, ada juga pengecualian...”

Leonis merasa bahwa guru itu baru saja melirik Riselia. Nah, gadis itu baru mewujudkan Pedang Sucinya pada usia lima belas tahun. Karenanya, ia lambat berkembang.

Pedang Suci. Kekuatan yang diberikan planet ini kepada umat manusia.

Senjata yang tidak biasa ini tidak ada di era Leonis. Senjata itu pertama kali muncul 64 tahun yang lalu, saat invasi pertama Void. Pedang Suci muncul dalam berbagai bentuk yang berkisar dari pedang dan busur, hingga hal-hal tidak biasa yang belum pernah dilihat manusia sebelumnya. Pedang Suci juga sepertinya tumbuh bersamaan dengan jiwa dari pemiliknya. Dan dalam hal ini juga, seseorang bisa kehilangan kekuatan Pedang Sucinya jika mereka mengalami sesuatu yang traumatis.

Ya, Elfine kehilangan kemampuann asli dari Mata Penyihir untuk waktu yang cukup lama.

Dan kemudian, ada Pedang Iblis.

Jika Pedang Suci adalah kekuatan dari planet ini, lantas dari mana Pedang Iblis mendapatkan kekuatannya...?

Apakah Pedang Suci benar-benar merupakan kekuatan dunia? Leonis, yang masih terus mengabaikan pembelajaran, hanya bisa bertanya-tanya soal itu.

“Hei, Leo...,” bisi Riselia di telinganya.

“...?” Leonis mengarahkan pandangannya pada gadis itu.

“Bukankah kamu sudah hampir pada usia untuk memanifestasikan Pedang Sucimu sendiri?”

“Eh?” Leonis terkejut dengan pertanyaan itu.

“Maksudku, umurmu sepuluh tahun, dan kamu terus melawan Void secara langsung. Itu tidaklah aneh jika planet ini akan segera memberimu Pedang Suci.”

“...Aku tidak ada memikrikan soal itu.”

Hanya manusia yang bisa membangkitkan Pedang Suci. Beastmen dan demi-human lainnya tidak bisa. Seorang Penguasa Kegelapan seperti Leonis harusnya tidak memenuhi syarat untuk itu, atau setidaknya, itulah yang ia duga.

Memang sih, sekarang aku memiliki tubuh anak manusia...

Wujud ini adalah wujud dari Leonis Shealto, Pahlawan Pedang Suci. Dengan kata lain, ada potensi bahwa dia bisa menggunakan kekuatan itu juga. Namun jika memang itu masalahnya, akan seperti apa Pedang Sucinya? Dikatakan bahwa Pedang Suci adalah perwujudan dari jiwa seseorang, maka dalam hal ini...

Tongkat? Mungkin Pedang? Atau mungkin sabit?

Setelah memikirkan hal-hal seperti itu, Leonis menggelengkan kepalanya dalam diam.

Kurasa itu memang mungkin saja, tapi...,

Tubuhnya mungkin manusia, tapi seorang Penguasa Kegelapan yang menentang umat manusia tidak bisa menggunakan Pedang Suci. Dan ketika dia sampai pada kesimpulan itu, bel berbunyi, menandai akhir dari kelas.

“Leo, hari ini kita akan makan siang di Phrenia,” ucap Riselia sambil memasukkan terminalnya ke dalam tasnya.

“Di panti asuhan?”

Riselia sering bantu-bantu di pantu asuhan Phrenia, yang juga berfungsi sebagai restoran.

“Tessera merayakan ulang tahunnya hari ini.”

“Oh, begitukah?”

Tessera, gadis berusia delapan tahun, merupakan anak yang paling bertanggung jawab di panti asuhan. Dia tumbuh cukup terikat pada Leonis setelah melihat anak lelaki itu melindungi rumahnya saat Stampede.

“Ya ampun, itu gak baik tahu, Leo. Kamu tidak boleh melupakan hari ulang tahun seorang gadis,” ucap Regina, mengangkat jarinya menegur Leonis.

“Kamu mau ikut tidak, Leo? Ada kuenya loh,” ucap Riselia.

“Yah... Oke, kenapa tidak?”

Ada manfaat untuk berinteraksi dengan anak-anak di panti asuhan. Toh itu sempurna untuk menegaskan kembali penyamarannya. Bagaimanapun juga, tidak ada yang akan berpikir bahwa seorang anak berusia sepuluh tahun yang berpura-pura bermain dengan temannya merupakan Penguasa Kegelapan yang mengendalikan kota ini dari bayang-bayang.

Dalam maksud jahat, Leonis mengangguk pada dirinya sendiri.

­---

“Terjadi bentrokan di dermaga dengan organisasi teroris anti-kekaisaran, ya...?”

Elfiné membaca sekilas berita saat dia sarapan di kamarnya di asrama.

“Sepertinya akhir-akhir ini banyak hal seperti itu yang terjadi.”

Ketika Proyek Assault Garden muncul, banyak negera demi-human pada dasarnya dipaksa untuk bergabung dengan Kekaisaran Manusia Terintegrasi. Ketidakpuasan yang ditimbulkan oleh hal tersebut masih belum sepenuhnya hilang.

Elfiné menggigit roti panggangnya yang diolesi dengan mentega dan menyesap kopinya. Sebagai siswi teladan, dia sudah menghadiri sebagian besar kuliahnya. Karenanya, dia tidak memiliki  kelas untuk paruh pertama hari itu, membuat paginya cukup santai.

Namun, karena Pedang Suci yang bertipe memindai itu jarang ditemukan, jadi dia sering dipanggil untuk membantu perusahaan mengatasi berbagai masalah yang muncul di kota. Dan hal-hal seperti itu yang paling baru adalah festival ritual pemujaan yang akan diadakan di daerah swakelola Anggrek Sakura dalam beberapa hari kedepan.

Aku menerima pekerjaan itu dengan sukarela, jadi aku tidak bisa mengeluh soal pekerjaan-pekerjaan ekstra.

Beberapa hari yang lalu, Liat, salah seorang anggota Komite Eksekutif, telah dirusak oleh Pedang Iblis dan kehilangan kemampuannya sebagai Pengguna Pedang Suci. Itu akhirnya membuat Elfiné mengambil tugas Liat dari pekerjaan Komite Ekstekutif.

Elfiné tidak bisa membiarkan siapa pun yang melakukan itu pada Liat lolos begitu saja tanpa hukuman. Dan satu-satunya petunjuk tentang siapa dalang itu mungkin adalah keberadaan Proyek Pedang Iblis yang sulit dipahami, suara dewi yang Muselle dan siswa lain yang terpengaruh oleh Pedang Iblis dilaporkan mendengarnya, dan Elemental Buatan bernama Seraphim.

Perusahaan Phillet adalah pihak yang memproduksi Seraphim, dan meskipun saat ini tidak tersedia untuk dibeli, sepertinya Pedang Iblis akan menahan mereka yang dipimpin oleh suaranya.

Proyek Pedang Iblis ibukota... Ayah harusnya terlibat.

Menatap terminalnya, Elfiné menggigit bibirnya saat rambut hitamnya menutupi matanya.

“Finé ♪”

“Aaah!”

Merasakan sepasang tangan memeluknya dari belakang, Elfiné terkejut, hampir menumpahkan kopi ke terminalnya.

“Cl-Clauvia?!” dia mencicit, segara berputar.

Benar saja, kakak perempuannya ada di sana di belakangnya.

“Ba-Bagaimana kamu bisa masuk ke sini?!” seru Elfiné, bingung.

“Bagaimana? Tentu saja lewat pintu,” jawab kakaknya, dengan santai mengacungkan ibu jarinya ke arah pintu masuk.

Pedang Suci Clauvia memungkinkannya untuk menyembunyikan kehadirannya dari orang lain. Bahkan Mata Penyihir Elfiné yang dalam kondisi berkekuatan penuh pun tidak dapat menemukannya.

“Bukan itu maksudku,” gerutu Elfiné, memijat pelipisnya. “Ngapain kamu di sini? Kalau kamu berencana meyakinkanku untuk membantumu di ibukota, aku sudah bilang kalau aku tidak mau.”

“Ya ampun, kamu dingin banget sih. Aku ‘kan cuman datang untuk melihat adik perempuanku.”

“...”

Tujuan Clauvia pasti lebih dari itu.

Tidak mungkin dia datang ke sini hanya untuk sesuatu yang begitu polos seperti itu.

Clauvia kemudian melihat ke bawah ke terminal Elfiné dan mengangkat alisnya. Sepertinya, dia tertarik dengan berita tentang serangan teroris di dermaga.

“Berita yang sangat tidak menyangkan,” serunya.

“Tidak menyenangkan?”

Serangan dari fraksi anti-kekaisaran bukanlah hal yang terlalu luar biasa.

“Tekanan dari militer membuat pers tidak melaporkan apa yang sebenarnya terjadi.”

“Maksudmu beritanya ditutup-tutupi? Tapi kenapa—”

Kakak perempuan Elfiné merupakan petugas teknologi terkemuka di Perusahaan Phillet, dengan koneksi di tempat-tempat yang setinggi istana. Baginya untuk mengetahui rahasia intelijen tidaklah aneh. Selain itu, apa pun yang tidak bisa dia ketahui dari informannya, akan dia temukan dengan meretas Astral Garden.

“Rupanya, pertempuran melawan Void pecah di dermaga.”

“Void?” Mata Elfiné melebar.

Jika Void muncul di kota, biro administrasi pusat Akademi Excalibur harusnya menghubungi petugas intelijen lokal, termasuk Elfiné.

Elfiné kemudian meletakkan tangannya di dagunya. “Jadi militer merahasiakan itu, ya. Itu tidak terjadi di daerah perkotaan, jadi kurasa mereka bermaksud untuk mencegah kekhawatiran yang tidak perlu. Meski demikian, mereka harusnya melaporkannya ke Akademi Excalibur…”

“Ya ‘kan? Itu juga membuatku penasaran. Karenanya, aku menyelidikinya, dan…” Clauvia berhenti, mendekatkan bibirnya ke telinga Elfiné. “Beberapa barang di kapal yang berlabuh malam itu berasal dari perusahaannya Finzel.”

“…?!”

Finzel Phillet. Putra kedua keluarga Phillet, dan salah satu ahli waris ayah mereka. Dia termasuk di antara orang-orang yang terdaftar sebagai orang yang terlibat dalam Proyek Pedang Iblis ibukota…

“Jangan bilang serangan Void itu terkait dengannya...”

“Jujur, aku tidak begitu tahu bagaimana harus menjawab itu,” jawab Clauvia sambil mengangkat bahu. “Tapi akhir-akhir ini saudara kita itu telah bertindak mencurigakan.”

“Apa yang membuatmu mengatakan itu?”

“Kudengar, dia mengontrak sekelompok tentara bayaran yang selamat dari Anggrek Sakura untuk menangani keamanan pribadinya.”

“Tentara bayaran Anggrek Sakura…? Maksudmu Satuan Kenki?”

“Oh, kamu pernah mendengar tentang mereka?”

“Ya. Salah satu rekan timku berasal dari Anggrek Sakura.”

Satuan Kenki adalah kelompok bersenjata yang bertujuan memburu Void. Anggotanya adalah Pengguna Pedang Suci berpengalaman dan yang selamat dari Stampede di Anggrek Sakura.

“Tidakkah menurutmu mempekerjakan mereka sebagai pasukan pribadinya agak sedikit berlebihan?” tanya Clauvia dengan sugestif.

“…Ya, kau ada benarnya.”

Jika yang dikatakan Clauvia itu benar, Elfiné jadi penasaran tentang apa tujuan dari saudara mereka. Bisa jadi itu merupakan kehendak monster dari ibu kota—ayah mereka.

“Yang helas, kamu harus berhati-hati pada Finzel. Anggap saja ini sebagai nasihat kecil yang ramah dari kakakmu.”

“…”

“Aku akan segera kembali ke saudara kaisar. Namun, pertimbangkanlah proposal pekerjaan dariku,” ucap Clauvia, dan dengan pernyataan itu,  dia meninggalkan ruangan.

---

Terlepas dari apa yang terjadi kemarin, kota ini terlihat cukup damai.

Pahlawan elf, Arle Kirlesio, berjalan-jalan di sepanjang tepi jalan, melihat-lihat sekeliling dengan mengenakan tudung yang ditarik rendah untuk menutupi wajahnya. Bangunan berlapis di sekelilingnya lebih tinggi dari pohon-pohon di hutan dia berasal. Hanya ada satu tempat di kota ini di mana seorang gadis seperti dia, yang tumbuh dalam pelukan alam, bisa merasa seolah sedang berada di rumah: yaitu biotope buatan yang dihuni oleh demi-human.

Namun meskipun demikian, dia harus mengunjungi daerah perkotaan untuk membeli kebutuhan sehari-hari yang sulit didapat di biotope.

Aku butuh beberapa baju baru. Dan juga, salah satu perangkat magis yang sepertinya digunakan oleh semua orang mungkin juga bagus.

Arle mengenakan pakaian anak-anak yang dia temukan di sisa-sisa Assault Garden Ketiga. Fisiknya ramping dan cukup kecil sehingga pkaian itu pas untuknya, namun tetap saja dia menginginkan sesuatu yang sedikit lebih rapi.

Dia juga menginginkan salah satu peralatan magis yang digunakan oleh orang-orang di zaman ini untuk mengumpulkan intelijen. Lena telah memberi Arle izin warga palsu, jadi dia harusnya bisa mendapatkannya tanpa masalah.

Sebenarnya Lena telah menawarkan diri untuk menemaninya berbelanja, tapi Arle menolak. Mungkin gadis elf itu memang bersembunyi di antara Pasukan Serigala Iblis, tapi itu hanya untuk tujuan penyelidikan, dengan tujuan akhir untuk membunuh Penguasa Kegelapan Zol Vadis.

Terlalu dekat dengan mereka hanya akan membuatku goyah ketika itu di saat-saat yang penting.

Aksi yang Arle tunjukkan selama insiden tadi malam telah membuatnya mendapatkan kepercayaan dari kelompok tersebut. Hari ketika dia akan dipromosikan ke dalam lingkaran dalam Penguasa Kegelapan tidak akan jauh lagi.

Aku akan mengalahkan Penguasa Kegelapan yang telah bangkit. Itu adalah misiku…

Tanpa sadar, jari Arle mencengkeram gagang Crozax, Pedang Pemotong Iblis, yang dia sembunyikan di bawah jubahnya. Zol Vadis dengan mudah menghancurkan Void di dermaga. Jika Arle menantangnya secara langsung, dia hampir pasti akan gagal.

Tapi aku tidak yakin apakah itu benar-benar Zol Vadis yang aku tahu.

Seribu tahun yang lalu, Arle belum pernah bertemu dengan Zol Vadis. Rekan dan sosok kakak laki-lakinya, Leonis, telah mengalahkan Penguasa Kegelapan itu. Namun, saudara seperguruannya itu kemudian menjadi yang paling kuat dan paling mengerikan dari semua Penguasa Kegelapan—Raja Undead.

Dan tidak ada jaminan bahwa hanya satu Penguasa Kegelapan saja yang kembali.

Jika ada lebih banyak Penguasa Kegelapan yang muncul, mungkin akan tiba saatnya dia harus melawan Raja Undead.

Tapi kemudian…

“…To-Tolong, hentikan!”

“Dasar pecundang! Jika Leo ada di sini—ah!”

Arle mendengar suara anak-anak kecil yang menangis dari sebuah gang.

“Hah? Bocah itu baru saja melemparkan lumpur ke seluruh pakaianku!”

Telinga Arle berkedut saat dia mendengar suara kasar seorang pria dewasa.

Aku seharusnya tidak membuat diriku terlibat ke dalam masalah jika aku bisa menghindarinya…

Meski demikian, Arle adalah pahlawan, dan dia tidak bisa mengabaikan ketidakadilan. Dia berjalan ke sisi jalan tempat keributan itu berasal. Di sana, dia menemukan tiga anak kecil yang meringkuk ketakutan, terpojok oleh sepasang pemuda.

“Hentikan itu,” seru Arle. “Merundung anak-anak? Apa kalian tidak punya malu?”

“Hah?! Kau siapa?!” teriak para bajingan itu, berbalik menghadap gadis elf itu. “Apa kau tahu apa yang dilakukan oleh anak-anak pengungsi ini kepada kami?!”

“Sepertinya tidak peduli seberapa jauh teknologi sihir telah maju, masih ada saja beberapa orang yang tidak bisa memahami ucapan dasar.” Arle diam-diam merapal mantra. “Deig Ray.”

““Gaaaaaaah!””

Arle menembakkan sentakan kecil petir dari jari-jarinya, menjatuhkan orang-orang itu dalam sekejap. Dia sudah memastikan untuk menahan kekuatan mantranya, jadi mereka tidak akan mati.

Melihat ke arah anak-anak, dia berkata, “Ayo pergi. Dan lain kali lebih berhati-hatilah.”

“Y-Ya… Terima kasih!” Gadis yang tertua dari ketiganya menundukkan kepalanya berterima kasih.

Setelah melihat wajah gadis itu, mata biru Arle melebar menyadari sesuatu. Dia mengenal anak ini. Ketika dia hampir pingsan karena kelaparan beberapa waktu lalu, gadis ini telah membantunya.

Dan ketika Arle mengingat siapa dia, gadis itu tampaknya juga mengenali elf itu, meskipun dia memakai tudung.

“Kamu wanita yang waktu itu..., ‘kan?”

“…Aaah, erm…” Arle dengan canggung mengalihkan pandangannya.

Teringat kembali bahwa dirinya hampir pingsan karena kelaparan membuatnya merasa malu.

“E-Ern…” Gadis itu mendekat dan dengan malu-malu mencubit ujung baju Arle. “Aku ingin mengucapkan terima kasih karena telah menyelamatkan kami. Karenanya, jika kamu mau, kamu bisa datang ke panti asuhan kami...”

“Ti-Tidak usah repot-repot. Aku tidak butuh rasa terima kasih apa pun,” Arle menggelengkan kepalanya. Bagaimanapun juga, kerendahan hati adalah kebajikan heroik.

Namun...,

“Hari ini kita akan merayakan pesta ulang tahunnya Tessera!”

“Riselia dan teman-temannya akan datang dan membuat banyak makanan serta kue yang enak-enak!”

Dua anak lainnya, seorang gadis yang ceria dan seorang anak laki-laki berkacamata, bersikeras mengundangnya.

K-Kue…?

Makanan semacam itu tidak ada di hutan tempat Arle dibesarkan. Ketika Arle pertama kali mencicipi kue di kota ini, dia begitu diliputi oleh kebahagiaan sampai-sampai dia bahkan meninggalkan Crozax di toko roti.

“Kue…,” gumam Arle.

Karena dia miskin, kue adalah kenikmatan yang berada di luar jangkauan Arle.

“Kue buatannya Regina sangat enak loh. Sekali memakannya kamu pasti akan tersenyum♪”

“Tersenyum...,” Arle mengulangi kata-kata itu, tergoda sampai mengeluarkan air liur.

Dia perlu berbelanja kebutuhan dan salah satu perangkat sihir. Namun, dia tidak harus terburu-buru untuk melakukan itu.

“A-Apa kamu terlalu sibuk untuk ikut dengan kami?” tanya gadis yang lebih tua, menatapnya dengan mata bak anak rusa.

“A-Aku bisa ikut sebentar,” jawab Arle, memutar-mutar ujung rambut ponytailnya dengan jarinya.

---

Sore itu, Riselia, Regina, dan Leonis menuju ke panti asuhan Phrenia setelah berbelanja bahan-bahan di pusat kota.

“Fiuh,  kurasa ini sudah cukup,” ucap Riselia, sambil memuat peti kayu dari kendaraan militer mereka.

“Kamu membeli cukup banyak stok,” ucap Leonis.

“Yah, itu untuk semua anak-anak. Kalau ada sisa, kita akan membawanya kembali ke asrama.”

“I-Ini agak berat…,” ucap Regina, berjuang untuk mengambil sekantong bahan.

“Sini, biar aku yang membawakannya untukmu, Regina,” usul Leonis.

“Eh? Kamu yakin bisa mengangkatnya, Leo?” Regina menatapnya dengan ragu.

“…Aku ini selalu menjalani latihan dasarku, tau,” tegas Leonis, dengan mudah mengangkat tas yang besar dan kuat.

“Wow… Kamu benar-benar laki-laki, ya?” seru Regina, kaget.

“Apa kamu yakin kalau kamu tidak menggunakan trik, Leo?” tanya Riselia, sambil tersenyum kecil.

“Jadi kamu bisa tahu, ya?”

Leonis menggunakan mantra gravitasi untuk meringankan berat tasnya. Dan karena pelatihan sihir yang Riselia lakukan, dia bisa menyadari itu.

“Apa kamu mengujiku untuk melihat apakah aku akan sadar kalau kamu menggunakan mantra?” bisik gadis itu.

“Kurang lebih begitu.”

“Hm, kalian bisik-bisik apa?” tanya Regina, tampak agak bingung.

Saat mereka mendekati panti asuhan, anak-anak yang bermain di luar memperhatikan mereka dan bergegas menghampiri.

“Mereka sudah datang!”

“Selia!”

“Leo sudah datang!”

“Ah, Regina!”

“Regina datang!”

“Leoooo!”

“Hmm, kenapa cuman aku saja yang tidak punya nama panggilan?” gerutu Regina.

“Regina, cepat bawa kuenya!”

“Ya, ya, aku akan membawnya… Hei, jangan menarik-narik rambutku!”

Beberapa anak laki-laki yang lucu mulai bermain-main dengan rambut pirang Regina.

“Kamu sungguh populer di kalangan anak-anak ya, Regina.”

“Hahhh… Kuharap mereka bisa sedewasa kamu, Leo,” ucap Regina, sambil menghela nafas saat anak-anak itu terus bermain-main dengan rambutnya.

---

“Terima kasih telah meluangkan waktu kalain untuk berkunjung. Dapurnya ada di sini.”

Setelah mendengar suara mereka, pemilik panti asuhan, Phrenia, keluar untuk membimbing Leonis, Riselia, dan Regina. Namun, ketika Phrenia membuka pintu dapur…

“…?!”

Leonis melihat seorang gadis duduk di meja. Anak lelaki itu sangat terkejut sampai-sampai dia hampir menjatuhkan tas belanjaan yang dia bawa.

Apa?!

Gadis yang menatap ke arahnya dengan kaku tidak lain adalah—

Mengapa ada Arle Kirlesio di sini?!

Tidak salah lagi, itu adalah dia. Itu adalah pahlawan yang sama yang Leonis lihat tadi malam.

“K-Kamu!” Regina menunjuk lekat-lekat ke arah gadis itu. “Bukannya kamu gadis elf yang kami bawa dari Assault Garden Ketiga?!”

“Bu-Bukan, kupikir kamu salah elf...!” jawab Arle, dengan panik menarik tudung ke atas kepalanya.

Namun, itu sudah terlambat. Regina telah mengenalinya.

“Kamu pergi ke mana saja?” tanya Riselia. “Kita belum menyelesaikan pendaftaranmu sebagai warga sipil loh.”

Ketika mereka semua kembali dari kota yang hancur dengan pesawat tempur taktis, Arle menghilang begitu mereka mendarat di Assault Garden Ketujuh. Setelah itu, dia bergabung dengan Pasukan Serigal Iblis, meskipun Leonis adalah satu-satunya selain elf itu yang tahu soal itu.

“…” Arle menahan lidahnya, tudung masih menutupi wajahnya.

“Hm, apa kalian…, saling kenal?” Tessera, yang duduk di samping sang pahlawan, menanyakan itu dengan malu-malu. “Tadi Arle baru saja menolong kami—”

“Kurasa aku akan pergi,” sela Arle, berdiri. “Terima kasih.”

“T-Tunggu!” Tessera buru-buru meraih lengannya.

“Kalau kamu punya semacam masalah, kami tidak akan memaksamu untuk memasuki Akademi Excalibur kok,” jelas Riselia. “Lagipula, waktu itu kamu telah membantu kami di kota yang hancur.”

“…”

“Selain itu, karena kamu sudah di sini, setidaknya kamu harus makan kue.”

Tessera mengangguk. “Y-Ya, itu ide yang bagus!”

“Ba-Baiklah,” ucap Arle, dengan enggan duduk kembali ke kursinya.

---

Pop, pop, pop, pop!

Kebisingan pesta terdengar.

“Selamat ulang tahun yang kesembilan, Tessera!”

“Te-Terima kasih! Terima kasih banyak!” Tessera menundukkan kepalanya dengan penuh syukur sambil tersenyum.

Meja ruang makan penuh dengan kado. Riselia memberi Tessera buku bergambar yang disukainya, dan Regina memberikannya pola stempel untuk membuat kue.

“Aku membawakanmu ini...”

Leonis juga membawa hadiah. Dia mengeluarkan sebuah kotak mewah yang berisikan…,

“…!”

Sebuah patung kecil yang diukir dari tulang. Leonis telah menggunakan sisa-sisa tulang yang dia kumpulkan dari Necrozoa untuk membuat seekor naga kecil.

“L-Leo…?” heran, Riselia menatapnya.

“Membuat ini sungguh pekerjaan yang melelahkan,” ucap Leonis dengan bangga, membuat lelucon.

“Untungnya, tidak seperti punyaku, tulang belakang yang satu ini masih utuh.”

“Itu sangat menyeramkan!”

“Eee…”

“Itu seperti akan hidup saat malam hari!”

Untuk beberapa alasan, anak-anak panti asuhan (terutama yang perempuan) sepertinya tidak terlalu menyukainya.

“Seleramu mungkin agak terlalu menakutkan untuk mereka, Leo…,” ucap Regina dengan ekspresi bermasalah.

“Ta-Tapi kamu sudah bekerja keras untuk membuat itu!” Riselia mencoba meyakinkannya, meskipun wajahnya sama gelisahnya dengan pelayannya.

“Ini dibuat dengan sangat baik.” Arle adalah satu-satunya orang yang memberikan pujian dengan tulus. “Ini terlihat seperti sungguhan.”

Me-Mengapa mereka tidak bisa mengerti betapa mengesankannya itu?! pikir Leonis, kesal dengan reaksi yang kurang hangat.

Namun…

“Te-Terima kasih, Leo! Aku menyukainya!” Tessera berteriak seolah-olah ingin menenggelamkan suara-suara yang lain. “Maksudku, jika kamu melihatnya baik-baik, itu agak imut…, kurasa!”

I-Imut... Benarkah?

Leonis tidak yakin tentang penilaian gadis itu, tapi dia tampak senang menerimanya.

“Fufufu, kurasa kamu lebih perhatian daripada kelihatannya, Leo♪,” bisik Regina di telinga Leonis.

“Oh, aku tahu, kita bisa meletakkan itu di luar untuk mengusir pencuri,” usul Phrenia.

Mengangguk setuju, Leonis menjawabnya, “Ya, kupikir itu ide yang bagus.”

Leonis telah menempatkan mantra Pembangkitan Pengawal tingkat dua pada patung tersebut. Sihir itu akan menghidupkan naga kecil itu untuk melindungi gedung panti asuhan jika terjadi sesuatu.

“Sudah waktunya, semuanya. Nikmatilah kuenya!” seru Regina. Anak-anak pun langsung bersorak saat dia berdiri dan mulai bekerja.

Arle juga ikut bersorak di samping mereka sebelum dia tiba-tiba menyadari apa yang dia lakukan dan dengan malu-malu menghentikan dirinya sendiri.

---

Saat Regina dan Riselia sedang memasak, Leonis disuruh bermain dengan anak-anak di ruang tamu.

Apa... yang harus kulakukan?

Melihat Riselia berdiri di dapur, Leonis memelototinya dengan perasaan iri. Tessera adalah gadis yang tertua di panti asuhan, dengan dua bersaudara Millet dan Linze berada di urutan kedua. Karenanya, Tessera sering kali harus menjaga anak-anak yang lebih muda darinya.

Aku hampir tidak memiliki kenangan bermain dengan anak-anak…

Saat dia duduk di sudut ruangan, Leonis menyelidiki ingatannya yang jauh. Sama seperti anak-anak ini, Leonis adalah seorang yatim piatu. Pada saat itu, Kerajaan Rognas telah diluluh-lantahkan oleh perang dengan Penguasa Kegelapan, menyebabkan banyak orang kehilangan orang tua mereka. Tidak ada tempat untuk anak-anak yang terlantar, sehingga banyak dari mereka yang harus bertahan hidup sebagai anak jalanan.

Seorang pria yang telah menyelamatkan seorang anak laki-laki berusia enam tahun tertentu dari nasib buruk itu kemudian menjadi salah satu dari Enam Pahlawan. Dan Leonis mengikutinya, dengan sepenuh hati memoles keterampilannya dalam berpedang di bawah pengawasan pria itu.

Sungguh berbelit-belitnya nasib bahwa anak yang sama itu kemudian menjadi Penguasa Kegelapan dan musuh dunia.

Namun rupanya, takdir masih belum menyerah untuk mempermainkan ikatan Leonis dengan mantan gurunya. Dia melirik ke arah gadis elf yang duduk letih di seberang ruangan. Arle Kirlesio telah belajar di bawah master yang sama dengan Leonis, sehingga bisa dikatakan bahwa elf itu adalah saudari seperguruannya.

Gadis elf hampir tidak tahu cara berinteraksi dengan manusia. Peri hutan adalah orang-orang yang tertutup dan rewel. Kecuali berada dalam keadaan yang sangat gawat, mereka tidak akan pernah mau meninggalkan hutan mereka untuk berinteraksi dengan orang lain.

Ini adalah perkembangan yang cukup tak terduga, meski begitu ini adalah peluang yang bagus. Aku akan menyelidiki dia.

Leonis bangkit berdiri dan mendekati Arle.

Gadis itu memandangnya dengan curiga. “A-Apa maumu…?”

“E-Erm, apa kamu mau bermain denganku?”

“E-Eh?!” Telinganya yang panjang berkedut karena terkejut.

Kata-kata yang Leonis ucapkan terdengar seperti dia mencoba menggodanya, tapi Leonis saat ini adalah anak laki-laki berusia sepuluh itu. Karenanya, itu tidak terlalu aneh.

“Erm, maaf, aku..., aku belum pernah bermain dengan anak manusia sebelumnya.”

“Oh, tidak apa-apa kok. Kamu tidak perlu melakukan apa pun. Aku lah yang akan bermain soalnya.”

“...Hah?”

Leonis meringkukkan bibirnya menjadi seringai dan membuat rapalan.

“Mantra pikiran tingkat ketiga—Varis Ro Zelma.”

Saat dia selesai merapalkan mantra, cahaya memudar dari mata Arle. Meskipun gadis itu telah mencoba untuk melawan sihir tersebut, elf itu tidaklah berdaya di hadapan sihir Leonis.

Leonis pun dengan santai duduk di samping Arle, berpura-pura mengobrol dengannya agar tidak menimbulkan kecurigaan dari Tessera dan yang lainnya.

Sekarang, apa yang harus kutanyakan padanya...?

“Apa kamu dikirim ke era ini oleh Pohon Penatua?” tanya Leonis.

“…Ya. Pohon Penatua..., memberiku mii...”

“Hm. Yah, aku sudah berasumsi sebanyak itu...”

Pohon Penatua adalah bagian dari Pohon Suci yang tumbuh di jantung dunia, dan dulu merupakan dewa bawahan dari Dewa Hutan. Archsage, Arakael Degradios, telah menyatu dengan Pohon Suci, tapi Pohon Penatua tampaknya masih bertahan.

“Dan misimu adalah untuk membunuh para Penguasa Kegelapan yang akan bangkit kembali di era ini, kan?”

Arle mengangguk, wajahnya kosong. “…Ya. Aku harus menggunakan Crozax untuk mengalahkan mereka.”

“Bagaimana rencanamu untuk mencari para Penguasa Kegelapan?”

“Sederhana. Ke mana pun para Penguasa Kegelapan pergi, kehancuran dan kekacauan pasti akan mengikuti mereka…”

“…Itu belum tentu,” ucap Leonis, memasang ekspresi tidak senang. Namun, itu adalah metode yang cukup masuk akal untuk menemukan Veira, Ratu Naga; Gazoth, Raja Binatang Buas; dan Dizolf, Raja Amarah. Penguasa Kegelapan yang berhati-hati yang mencoba menyembunyikan kehadiran mereka, seperti Leonis, adalah minoritas.

Tentunya, Arle tidak tahu lebih banyak daripada Leonis. Anak lelaki itu sedikit kecewa namun terus melanjutkan pertanyaannya.

“Apa kamu punya informasi tentang dewi—tentang reinkarnasi Roselia Ishtaris?”

Tiba-tiba, terjadi perubahan.

“…Lia… Rose…lia… Dewi… Void…”

Apa yang terjadi?

Mata Arle melebar, dan bagaikan sedang mengigau, dia mulai mengulangi kata-katanya.

“Dewi…belum…datang…dua…”

Apa ini semacam reaksi defensif terhadap sihirku? Tapi itu harusnya tidak mungkin…

Leonis memusatkan mana ke matanya dan mengintip langsung ke pikiran Arle. Pada saat itu, sengatan listrik langsung mengalir di kepalanya.

Mustahil! Sesuatu menegurku…?!

Itu adalah kutukan pemecah pikiran. Jika itu adalah penyihir rata-rata, jiwa mereka akan langsung terputus seketika. Leonis bisa merasakan orang lain sedang mengawasi di belakang Arle Kirlesio.

Ada sesuatu yang mengamatiku?

Leonis segera melepaskan kendali pikiran dan merapal mantra pendeteksi kutukan pada dirinya sendiri untuk memastikan dia tidak disihir. Untungnya, serangan itu hanya berlangsung sesaat dan tidak akan menimbulkan efek jangka panjang.

Siapa yang melakukan itu?

Kemungkinan tersangka pertamanya adalah Pohon Penatua yang telah mengirim Arle ke era ini. Itu mungkin mengamati tindakan Arle melalui mata gadis itu. Namun…

Tidak. Itu bukan kehadiran dari Pohon Penatua. Itu adalah sesuatu yang lain. Leonis sangat yakin akan hal itu. Aku ceroboh. Harusnya aku tidak melakukan tindakan yang sembrono kepadanya.

Bahkan jika siapa pun yang berada di sisi lain tidak dapat mengidentifikasi Leonis secara spesifik, tindakannya barusan memperjelas bahwa seseorang telah mencoba mendominasi pikiran Arle.

Dia bereaksi terhadap nama Roselia... Atau apakah kata dewi?

“Mm… Nng, eh…?” Cahaya kembali ke mata Arle. “Apa yang terjadi…?”

“Sepertinya kamu sedikit mengantuk. Apa kamu lelah?” tanya Leonis dengan polos.

“Eh? Hm, ya, banyak hal yang terjadi tadi malam…,” jawab Arle, pikirannya masih agak kacau.

Elf itu tampaknya tidak sadar kalau seseorang sedang mengamatinya.

Aku harus membiarkannya melakukan apa yang dia mau sampai aku mengetahui siapa pengamat ini, simpul Leonis.

“Semuanya, makanannya sudah siap!” seru Riselia dari dapur.

---

“Wow! ♪” Mata Tessera berbinar saat dia melihat meja yang kini penuh dengan hidangan.

Ayam panggang yang dihias dengan saus berry manis dan roti yang baru dipanggang. Bacon dan sup yang dimasak dengan sayuran yang dipetik dari kebun pribadi Riselia. Pilaf dengan bakso, kacang goreng, pasta dengan keju, gratin daging, tiram panggang yang diambil dari pembudidayaan, jagung manis. Dan yang tak kalah pentingnya, masakan spesialnya Regina, steak hamburg demi-glace, favoritnya Leonis.

“Kami sudah membuat banyak makan, jadi kalian semua lebih baik makan!” ucap Regina sambil mengedipkan mata saat anak-anak menerkam makanan, berlomba-lomba untuk melihat siapa yang bisa ambil lebih banyak.

“Ka-Kalian semua lupa tata krama makan kalian…,” tegur Tessera dengan lembut.

“Kamu juga harus makan, Tessera!” yang lain memberitahunya, terlalu fokus pada makanan.

“Jangan malu-malu. Ambillah bagianmu, Leo,” ucap Riselia kepadanya.

“Maaf, tapi aku bukan anak kecil,” jawab Leonis dengan sopan, meski sudah memiliki steak hamburg di piringnya.

“Pastikan untuk makan sayuranmu juga. Lihat? Sama seperti dia,” ucap Riselia, menunjuk ke arah Arle. Dalam diam gadis itu sedang mengunyah roti dan sayuran di tepi meja.

“Dia ‘kan elf...,” balas Leonis dengan putus asa.

“Rasanya seperti sedang ada festival di sini,” ucap Phrenia sambil tersenyum. Kemudian, dia membungkuk pada Riselia. “Aku tidak bisa mengungkapkan betapa berterima kasihnya aku kepada kalian.”

“Oh, tidak apa-apa kok,” kata Riselia. “Anda juga sudah sangat membantu saya sepanjang waktu.”

Millet mendongak, pipinya kotor karena saus. “Hei, Leo! Sebentar lagi akan ada Festival Anggrek Sakura loh!”

“Hm? Ya, aku juga sudah mendengarnya.” Baru tadi pagi Riselia memberitahunya tentang event yang akan datang tersebut. “Apa kamu akan pergi?”

“Ya! Dan Tessera bertanya-tanya, apakah kamu bisa pergi dengan—”

“M-Millet!” wajah Tessera tiba-tiba menjadi sangat merah dan dia hampir tersedak.

“Pergi saja, Leo?” saran Regina, senyum kecil terbentuk di bibirnya. “Anggota peleton kita juga akan hadir untuk menonton tariannya Sakuya.”

“Ya, kurasa aku mesti pergi.” Ucap Leonis. Dia tertarik dengan ritual Anggrek Sakura ini. Dia sendiri belum pernah mengunjungi kawasan Anggrek Sakura, dan yang terpenting, dia ingin tahu lebih banyak tentang dewa kuno yang mereka hormati ini. “Tidak, kurasa aku ingin pergi.”

Tessera bersorak kecil pada konfirmasi dari Leonis. “Kalau begitu mari kita semua ketemuan besok dan pergi ke sana.”

“Oke.”

Namun saat Leonis mengangguk, dia menerima pesan telepati dari Shary.

“—Pa-Paduka, Paduka! Ada keadaan darurat!”

“Ada apa, Shary?”

“Ada penyusup tak dikenal di Kastil Penguasa Kegelapan!”

“…Apa?”



Sebelumnya || Daftar Bab || Selanjutnya

Post a Comment

Previous Post Next Post