Kono △ Rabukome wa Shiawase ni Naru Gimu ga aru Volume 1 - Bab 1 Bagian 1

Bab 1 Bagian 1 (dari 3)
Dia dan Hubungan Percintannya


Bulan April, musim menarinya bunga sakura. Itu adalah musim sensitif, yang mana umumnya disebut sebagai musim pertemuan dan perpisahan.

Namun, bagi seorang yang mulai hari ini duduk di bangku kelas 2 SMA, Yashiro Tenma, tidak ada perubahan menarik yang terjadi. Paling-paling, satu-satunya perubahan yang dia alami adalah ritual kecil yang disebut pergantian kelas dimana ruang kelasnya akan pindah dari lantai satu ke lantai dua. Istilah ‘lesu’ mungkin cocok digunakan untuk menggambarkan dirinya yang memasuki semester baru tanpa memiliki semangat yang tinggi.

“Yahho, Yashiro-kun.”

Di barisan di samping jendela, saat Tenma meletakkan tasnya di meja yang telah ditentukan sesuai nomor urut absen, seorang anak laki-laki memanggilnya. Dia memiliki proporsi tubuh yang normal, dan dengan rambut sebahu yang ujungnya keriting, dia jadi terlihat modis.

“Selamat pagi, Souta.”

Dia adalah Souta Hayami, seorang yang sejak kelas 1 sekelas dengan Tenma.

Senyuman lembut di wajahnya netralnya sangat menyegarkan, dan setiap kali Tenma melihat senyuman itu, dia merasa seolah-olah naluri seorang kakak perempuan jadi tergelitik dalam dirinya.

“Mohon kerjasamanya untuk setahun ke depan juga. Yah, kalau dipikir-pikir kita ini beruntung ya.”

“Beruntung? Kurasa kau benar, soalnya di kelas ini ada cukup banyak orang yang sekelas dengan kita juga saat kelas satu.”

Dalam artian bahwa dia tidak perlu mengeluarkan banyak usaha untuk membangun kembali hubungan pertemanan, Tenma setuju, tapi...,

“Ya ampun, lagi-lagi kau pura-pura bego~. Yang kumaksud bukan itu, tau..., kau pasti tahu, kan?”

Sambil melirik ke arahnya, Souta menyodok-nyodok pinggang Tenma. Tapi, sikap Tenma yang kelihatan pura-pura bego itu kenyataannya memang sama sekali tidak mengerti maksud Souta.

“Apaan sih?”

“Eh..., mungkinkah kau masih belum tahu? Kau sudah melihat daftar nama-nama murid yang ada di kelas kita, kan?”

“Aku melihatnya, terus? Apa di daftar itu diumumkan pemenang lotre atau semacamnya?”

[Kelas 2E akan menerima hadiah berupa amplop emas], jika itu yang diumumkan, maka Tenma merasa senang, tapi akan sangat bodoh untuk mengharapkan perkembangan situasi yang nyaman seperti itu di sekolah swasta biasa seperti ini.

“Astaga, kamu ini...”

Wajah Souta berkerut heran. Ekspresinya tampak seperti dia sedang melihat manusia gua yang salah memahami nama model fesyen yang ditulis sebagai ‘Saki’ tapi tidak dia baca sebagai ‘Saki’.

“Diamlah dan rasakanlah suasana yang memancar dari anak laki-laki di kelas ini.”

“Sekalipun kau bilang rasakan suasananya...,”

Paling-paling ‘kan mereka cuman bertukar salam semester baru yang biasa-biasa saja, itulah yang Tenma pikirkan, tapi saat dia melihat sekeliling, dia langsung sadar kalau pemikirannya salah.

“Yosshaa!” Seseorang berteriak keras dan membuat pose kemenangan.

“Terima kasih Tuhan!” Seorang yang lain memandang ke langit dengan ekspresi penuh kegembiraan.

Bahkan ada beberapa kumpulan orang menjijikkan yang saling berpelukan hangat sambil mengatakan hal-hal seperti, “Kita beruntung, ya” “Ya, kita beruntung!”

“Kelihatannya setahun kedepan ini akan menjadi tahun yang cerah.”

“Ya, tepat sekali. Dan alasan untuk itu adalah..., oh, baru saja dibicarakan, penyebabnya sudah muncul.”

Seketika, suasana di antara anak laki-laki yang larut dalam kegembiraan sontak berubah. Mereka segera merapikan poni mereka yang tidak teratur, mengoleskan pelembab bibir ke bibir mereka, dan ada juga yang memeriksa bau ketiak mereka. Kemudian, mereka semua mengarahkan garis pandang mereka ke arah yang sama, yaitu pintu ruang kelas.

Dari sudut pandang tertentu, seseorang pasti bertanya-tanya mengapa mereka begitu gelisah seperti itu. Nah, Tenma pun juga berpikiran seperti itu, dan saat dia melihat ke arah pintu ruang kelas dengan rasa penasaran...,

“Oooh...”

Merasa tidak siap, Tenma secara tidak sadar mengeluarkan desahan yang aneh dan menyipitkan matanya.

Silau, untuk sesaat, dia merasa seperti dia sedang melihat cahaya terang yang bersinar.

Seorang gadis berambut pirang yang hampir mendekati warna putih dan diikat di belakang lehernya muncul, dimana rambutnya pirangnya itu menolak dan menyebarkan cahaya dari lampu neon murahan. Rambut itu tidaklah diwarnai atau dibuat secara artifisial, melainkan rambut pirang yang alami.

“Aku senang kita berada di kelas yang sama lagi,” mata dari gadis yang tertawa dengan gadis-gadis lain di sekitarnya itu tampak berwarna biru pirus, layaknya warna dari lautan tropis.

“““Ooooh,””” seruan layaknya gemuruh tanah bergema di dalam kelas. Padahal, gadis yang muncul itu bukanlah seorang idol ataupun takarazuka, melainkan hanya seorang gadis yang merupakan teman sekelas mereka.

“Dialah yang menjadi salah satu alasan mengapa kelas 2E ini dianggap sebagai [kelas pemenang] di angkatan kita.”

Saking terpesonanya, bahkan suara Souta yang mengatakan itu terasa jauh bagi Tenma.

Dengan mata dan hidung yang terdefinisi dengan baik, tidaklah sulit untuk membayangkan bahwa gadis itu memiliki darah orang asing. Apalagi, dengan wajahnya yang masih mempertahankan kualitas wajah anak-anak, mereka yang melihatnya pasti merasa deg-degan dengan kesenjangan itu.

Sejak hari pertama Tenma masuk sekolah, dia pernah mendengar rumor tentang seorang gadis berdarah setengah Rusia ada di kelas lain, dan seingatnya, nama gadis itu adalah...,

“Oh, Hayami-kun!”

Kepalanya yang tersesat dalam lamunan kembali ke akal sehatnya. Bagaimanapun juga, gadis yang menarik perhatian itu kini mendekat ke arahnya sambil melambaikan tangannya. Tapi, orang yang dia tuju bukanlah Tenma.

“Selamat pagi, Tsubaki-san.”

“Selamat pagi. Karena kita satu kelas, maka sepertinya tahun ini kita akan lebih mudah untuk menghubungi satu sama lain perihal kegiatan OSIS atau semacamnya.”

“Kau benar.”

Tampaknya mereka berdua sudah saling mengenal, jadi mereka berbicara dengan akrab. Nah, tidak seperti Tenma, Souta mudah bergaul, jadi Tenma tidak merasa terkejut kalau dia kenal dengan gadis itu. Malahan, yang membuat Tenma terkejut saat ini adalah kekuatan penghancur gadis itu yang dia saksikan dari jarak dekat.

Dia memiliki kelopak mata ganda seperti orang barat. Kulitnya seputih salju, dan bibirnya yang lembut berwarna pink indah tanpa harus menggunakan lipstik. Dia memiliki garis tubuh yang secara keseluruhan ramping, tapi ada satu pengecualian, yaitu dadanya yang berukuran besar sampai-sampai membuat Tenma ingin bertanya. “Apa seragam itu sesuai dengan size-nya?”

“Apa kau adalah temannya Hayami-kun?”

“Eh?”

Saat Tenma menatapnya dan berpikir betapa kecilnya wajahnya terlepas dari tinggi badannya, mata mereka bertemu, membuat Tenma sontak jadi merasa deg-degan.

“Salam kenal, aku Reira Tsubaki.”

Terlepas dari fakta bahwa gadis yang seperti malaikat itu sedang memberinya senyuman lembut...,

“E-Eh, ya! Aku Yashiro. Aku Tenma. Senang bertemu denganmu.”

Tenma memperkenalkan dirinya dengan cepat dan gelisah, sambil membungkukkan kepalanya dan setengah tersenyum. Melihat seorang pria yang memperkenalkan dirinya hampir seperti orang mesum itu, Souta hanya bisa menghela napas blak-blakkan.

“Senang bertemu denganmu juga... Hm, eh, maaf, sepertinya aku dipanggil oleh meraka yang di sana, jadi aku permisi dulu.”

Reira membungkuk dengan sopan dan kemudian berbalik memunggungi mereka, dimana di saat itu rambut ponytailnya membentuk busur yang sangat indah.

“........”

Itu hanyalah sebuah momen yang singkat. Meskipun mereka hanya bertukar beberapa patah kata, tapi bagi Tenma itu adalah momen kebahagiaan surgawi. Saat dia terus menatap dewi yang bergerak menjauh darinya itu...,

“Wah, wah, ini sungguh mengejutkan. Aku tidak menyangka seorang Yashiro-kun yang biasanya terlihat memiliki kesan [aku tidak tertarik pada wanita] akan menjadi seterpana ini.”

Merasa bersenang-senang, Souta menggoyang-goyangkan bahunya.

“Yah, maaf, maaf. Aku bilang gitu soalnya kau sepertinya tidak tertarik dengan sesuatu yang berbau romansa.”

“Lagian sesuatu seperti itu melelahkan.”

“Oh, rasanya kau seperti memiliki alergi cinta saja?”

“Ya aku ‘kan gak bilang sampai sebegitunya juga kali....”

Tenma mengerti bahwa romansa adalah bagian terbaik dari menjadi siswa SMA, dan dia tidak bermaksud menertawakan mereka yang menjalani hubungan seperti itu. Hanya saja, dia tidak bisa membayangkan situasi dimana dirinya terlibat dalam sesuatu yang berhubungan dengan percintaan.

Bukti dari pernyataan tersebut adalah enam belas tahun Tenma hidup hingga saat ini. Tidak ada yang menyukai orang biasa seperti dirinya, yang baik wajah dan kepribadiannya biasa-biasa saja. Bisa dibilang, dia adalah seorang yang berada di sisi kelompok tanpa cinta.

Tapi, meskipun Tenma adalah orang yang seperti itu, kekuatan magis Reira begitu mengerikan hingga dia mampu memikat Tenma.

“Aku tidak menyangka kau berteman dengan sosok surgawi seperti dia... Seperti biasanya, keterampilan sosialmu selalu menakjubkan ya, Souta.”

“Tidak, tidak. Kami cuman sekadar kenalan karena kami sering membantu-bantu di OSIS.”

Kalau itu Tenma, sekalipun dia sudah berteman dengan gadis itu, dia tidak mungkin memiliki kepercayaan diri untuk bisa melakukan percakapan yang begitu akrab seperti yang Souta lakukan.

“Haah..., jadi itu ya alasan mengapa suasana kelas seperti ini.”

Sekali lagi, Tenma melihat ke sekililing kelas. Wajah yang tersenyum senang terbentuk dimana-mana seolah-olah mereka sedang melihat ladang bunga. Pemandangan itu tampak seperti semua orang sedang mengkonsumsi herbal ilegal, tapi jika melihat ke arah kecantikan Rusia yang bersinar di arah garis pandang mereka, bisa dimengerti bahwa mereka jadi berekspresi seperti itu.

“Dalam hal ini kelas ini mungkin memang bisa disebut sebagai pemenang.”

“Fufufu..., ada yang lebih mengejutkan lagi loh, Yashiro-kun. Tsubaki-san hanyalah salah satu alasan mengapa kelas ini disebut seperti itu.”

“Salah satu alasan?”

Dari cara Souta mengatakan itu, kedengarannya seperti ada faktor lain yang bisa menyaingi gadis itu. Hal itu rasanya sulit dipercaya mengingat rintangan untuk menyaingi gadis itu pasti tinggi, meski begitu tidak ada tanda-tanda kalau Souta hanya sekadar bicara saja.

“Oh..., Rinka-chan, selamat pagi!”

Suara Reira yang menyegarkan mencapai telinga Tenma, dimana suara itu seolah-olah mengundang Tenma untuk melihat ke arahnya. Dan tidak hanya Tenma saja, tapi ekspresi gembira dari anak laki-laki langsung menegang saat mereka mendengar itu.

Secara mengejutkan, orang yang kini menjadi pusat perhatian bukanlah Reira.

“Aku senang akhirnya tahun ini kita satu kelas~”

Di saat Reira mengungkapkan kegembiraannya dengan hampir melompat-lompat,

“Kau benar, aku juga senang.”

Orang yang kini menjadi pusat perhatian menjawab Reira dengan kesan yang biasa saja, dan saat Tenma melihat orang itu...,

“Aaa....”

Dia tidak bisa menutup mulutnya yang secara tidak sadar terbuka lebar.

Seorang gadis, dengan tinggi yang lebih tinggi dari Reira, bahkan mungkin itu cukup tinggi untuk seorang gadis, memiliki tubuh yang ramping. Dia memiliki aura kehadiran yang luar biasa sampai-sampai sebutan ‘tubuh model’ sangatlah cocok untuk dirinya.

Apalagi, rambut panjangnya yang tergerai hingga ke bawah pinggangnya membuat dia jadi semakin menarik. Rambut hitam yang bebas dari kotoran apapun itu sangat cocok disebut sebagai bulu basah burung gagak. Rambut itu diselimuti dengan kilau kutikula, tampak begitu halus sampai-sampai orang hampir bisa melihat setiap helai dari rambutnya.

“Dialah salah satu alasan lainnya. Namanya Rinka Sumeragi.”

“Aku tidak tahu di sekolah kita ada gadis cantik seperti dia.”

“Ya ampun, kau itu benar-benar kekurangan informasi soal ini ya, Yashiro-kun. Asal kau tahu saja, gadis itu punya pengikut dari kumpulan kaum tertentu loh. Kupikir dia itu sama populernya dengan Tsubaki-san.”

“Begitukah...?”

Sekali lagi, Tenma melihat ke arah Rinka.

Dia memiliki hidung yang mancung dan mata yang besar dan tampak berkemauan kuat. Wajahnya yang berwibawa terlihat dewasa, dan tentunya tidak bisa disangkal bahwa dia adalah wanita cantik, cuman...,

Rasanya dia memiliki suasana yang dingin. Entah apakah itu hanya sekadar imajinasinya Tenma saja, tapi dia memiliki kesan yang berkebalikan dengan Reira yang memiliki suasana seperti sinar matahari yang hangat.

“Entah mengapa dia terlihat menakutkan?”

“Ya ampun, kau ini sama sekali tidak mengerti ya, Yashiro-kun. Dengan kata lain...”

Tenma tidak memiliki selera untuk bertatap muka dengan laki-laki, tapi karena Souta berbicara dengan suara yang pelan, mau tak mau dia harus saling bertatapan dengannya, tapi saat itu...,

“—Hei kau yang di sana!”

Layaknya gemuruh petir, suara itu meraung di dalam kelas, mengusir kebisingan yang ada. Secara refleks Tenma mengatakan “Maaf!”, tapi untungya, suara itu tidak diarahkan kepadanya.

“Sejak tadi kuperhatikan kau terus menatap ke arah kami, apa kau punya keperluan atau semacamnya?”

“Eh, ah, erm......”

Saat seorang teman sekelasnya yang tidak dia kenal (berkacamata, kecil, gemuk) dipelototi oleh mata yang seperti mata burung pemangsa, mulutnya tampak bergetar. Wanita jangkung itu mendekatinya dengan langkah cepat, kemudian menekuk pinggangnya untuk mengarahkan matanya ke tinggi yang sama dengan siswa itu serta mengangkat alisnya dengan kesal.

“Kau punya telinga gak sih? Aku bertanya apa kau punya keperluan atau semacamnya?”

“T-T-Tidak ada apa-apa. Aku hanya sekadar melihat saja...”

“Begitukah? Kalau gitu bisakah kau melihat ke arah luar jendela saja? Soalnya tatapanmu itu bisa bikin orang salah paham.”

“Y-Yaaa!”

Menjawab layaknya ayam yang dicekik, siswa itu langsung mengalihkan pandangannya ke arah jendela.

­­N-Njir, menakutkan sekali...

Tenma bergidik. Tampaknya itu bukan hanya sekadar imajinasinya saja. Layaknya seorang permaisuri es, gadis itu mengenakan armor dingin yang tidak membiarkan orang lain mendekatinya.

Rinka kemudian merapikan poniya seolah-olah dia baru saja menyelesai satu tugas,  dan setelah itu seorang gadis berambut pirang bermata biru datang mendekatinya tanpa rasa takut.

“Tenanglah, Rinka-chan, jangan terlalu marah gitu. Mulai hari ini, kita semua akan menjadi teman di kelas yang sama loh?”

Meskipun sudah diberitahu seperti itu dengan lembut, tapi mata Rinka masih menunjukkan tatapan yang setajam pisau.

“Tidak, sebaliknya kupikir kau harus sedikit marah, Reira.”

“Begitukah?”

“Ya.”

Reira tidak tampak terkejut, malahan, dia bersikap layaknya seekor kucing yang ramah. Mungkin, ini adalah kejadian yang sudah biasa. Dan kalau diperhatikan, bukan hanya Reira, tapi seisi kelas yang harusnya dibuat merasa ngeri dengan sikap Rinka, entah mengapa...,

“Hari ini Rinka-sama juga keren sekali...!”

Melihat ke arah gumaman yang membuat Tenma merasa ragu dengan apa yang dia dengar, dia melihat sekelompok gadis dengan pipi yang merah merona sedang menyilangkan jemari mereka dalam pose berdoa. Entah mengapa, pose yang biasanya digunakan di gereja itu justru didedikasikan pada Rinka.

Di sisi lain, seorang pria yang duduk di dekat Tenma, dia menangis dengan kepalan tangan yang bergetar. Dia menggertakan giginya, dan pikirannya yang tak terucapkan dapat diketahui dengan jelas, yaitu: Mengapa bukan aku yang menerima makian itu...

Mendapatkan firasat buruk tentang hal tersebut, Tenma langsung menoleh kembali ke arah siswa yang Rinka suruh menatap ke jendela. “Haah, haaah, haah~,” napas siswa itu terdengar kasar, dan kacamatanya tampak mengepul.

“...Hei, Souta. Sebelumnya kau bilang kalau gadis itu memiliki pengikut dari sekelompok kaum tertentu, kan?”

“Apa kau akhirnya megerti?”

Melihat situasi seperti ini, tidak mungkin Tenma tidak bisa mengerti. Singkatnya:

Rinka Sumeragi menakutkan. Tapi, itu adalah hal yang bagus!

“Bahkan di dunia yang kecil seperti sekolah ini, mereka berdua adalah bukti kecil bahwa bukan hanya anak yang lembut saja yang akan dikagumi. Bisa dibilang, ini semacam apa yang disebut menerima wortel dan tongkat.”

Itu adalah pernyataan yang aneh, namun karena ada begitu banyak yang terjadi, sejujurnya Tenma tidak berpikir dia bisa mengikuti perkembangna situasi ini, tapi...,

“Jika itu aku, maka aku sudah puas jika hanya menerima wortel saja...”

Satu hal yang pasti, itulah yang dia percayai.

 

Kedua gadis itu sepertinya berada di puncak kasta sekolah.

Reira Tubaki adalah bunga yang besar yang keberadaannya saja akan menarik-narik banyak kupu-kupu.

Dia cantik dan menawan, dan lingkungannya selalu penuh dengan suara-suara yang ceria. Nilainya selalu menjadi yang teratas di kelas, dan kepribadiannya yang bersedia melakukan tugas-tugas merepotkan yang biasanya orang-orang hindari membuat dia memiliki kesan yang sangat baik dari para guru. Saat ini, dia dianggap sebagai kandidat terkuat untuk menjadi Ketua OSIS selanjutnya.

Rinka Sumeragi juga merupakan tipe orang yang menjadi pusat perhatian, tapi kesannya sangat berbeda dengan Reira.

Tidak seperti Reira yang berkumpl dengan orang-orang berperilaku baik, Rinka sering dikelilingi oleh wajah-wajah rock dan punk. Atau parahnya lagi, mereka memiliki kesan berandalan. Mengejutkannya, dia dan teman-temannya itu membentuk band di klub musik, dimana di situ dia menjadi vokalis sekaligus gitaris. Dikatakan bahwa dia memiliki banyak penggemar yang fanatik.

Begitulah, mereka berdua saling bertolak belakang kecuali kecantikan yang mereka miliki, tapi secara mengejutkan, mereka sudah saling kenal sejak kecil selama sepuluh tahun.

Namun, kesannya fakta itu sulit diperyca ketika Tenma menyaksikan adegan dimana Reira memanggil “Rinka-chan~” dengan senyum bahagia, dan Rinka dengan judes menjawabnya, “Kau selalu aja energik, Reira.”

Yang jelas, Tenma, seorang yang tidak dalam posisi untuk bergaul dengan kelompok kelas atas seperti itu, memperdalam persahabatannya dengan kelompok kelas menengah, membangun komunitas, dan menjalani kehidupan sekolah yang damai nan hangat seperti biasanya...,

Sampai saat hari itu tiba...

“Hmm?”

Waktu istirahat setelah selesainya pelajaran ketiga.

Sekembalinya ke kelas setelah mengikuti sesi pelajaran masyarakat modern, Tenma yang berusaha keras menahan untuk tidak menguap melihat buku paperback yang asing baginya di mejanya.

“Ini pasti bukunya orang yang ketinggalan.”

Seingatnya, mata pelajaran yang diajarkan di kelas ini sebelumnya adalah etika. Orang yang mengikuti mapel tersebut dan beberapa menit yang lalu duduk di kursinya Tenma pasti merupakan orang yang meninggalkan buku tersebut. Namun, dia tidak memiliki gagasan tentang siapa pun di sekitarnya yang tampaknya adalah pemilik buku itu.

“Andai saja ada nama yang dituliskan di sini, aku bisa saja langsung mengembalikannya...”

Yah, kurasa tidak mungkin buku seperti ini dituliskan nama, berpikir begitu, Tenma melepaskan penutup kain buku itu dan memeriksa sampulnya. Apa yang tampil adalah huruf tebal [Sang Penguasa]Il Principe serta wajah orang barat yang seperti digambar dengan cat air. Tenma kemudian membalik halaman buku yang dari judulnya sepertinya akan membuat orang yang membacanya dalam satu menit akan mengantuk, sambil dalam pikirannya bertanya-tanya siapa sih orang dengan sifat machiavellisme yang menjadi pemilik buku ini?

[Catatan Penerjemah: Buku yang dimaksud adalah buku Sang PenguasaIl Principe NiccolΓ² Machiavelli. Sedangkan, Machiavellisme merupakan filsafat tentang kenegaraan dan pemerintahan. Aliran filsafat ini menganggap bahwa segala sesuatu yang dilakukan demi pemerintahan dan negara, apapun itu, adalah sah dan baik untuk dilakukan.]

“......?”

Tenma merasa ada yang aneh. Buku itu memiliki begitu banyak dialog dalam tanda kurung sehingga tidak tampak seperti buku politik yang solid.

Tenma sadar bahwasannya itu tidaklah baik mengutak-atik barang milik orang lain tanpa izin, tapi rasa penasarannya mengusai dirinya. Tau-tau saja, dia mendapati tangannya berhenti di bagian-bagian tertentu dan membaca huruf-huruf yang tertulis.

[Kita berteman, tapi..., ini tidak bisa dihindari, soalnya aku telah jatuh cinta!]

Seperti yang dia duga, buku ini sebenarnya adalah novel, dan ceritanya tentang hubungan percintaan. Memang sih, membaca novel bisa jadi cara yang bagus untuk menghabiskan waktu, jadi tidak ada yang aneh dengan itu. Cuman yang aneh adalah, mengapa covernya diganti? Toh ini ‘kan tidak seperti anak SMP yang mencoba menyembunyikan buku porno, berpikir begitu, Tenma kembali membaca dialog-dialog yang ada.

[Tapi..., itu tidak berarti bahwa kau harus mencintai sesawa wanita, itu aneh, tau!]

[Mengapa? Apakah jenis kelamin itu penting ketika kau mencintai seseorang?]

Segera, Tenma menjadi curiga, dan dia mulai menggosok matanya seperti seekor kucing yang mengusap wajahnya.

Ya, ini adalah dunia yang tidak diketahui oleh Tenma. Jika hanya sekadar mendengar soal itu, memang dia pernah mendengarnya, yaitu: Genre yang diselimuti dalam nama bunga tertentu, suatu genre yang menceritakan tentang hubungan cinta sesama wanita.

“...Buset dah, siapa sih yang ninggalin buku ini di sini?”

Suara resahnya ditenggelamkan oleh hiruk-pikuk waktu istirahat.

Tenma merasa bahwa jika dia menunggu, yang punya buku pasti akan segera datang untuk mengambilnya, tapi untuk beberapa alasan dia tidak ingin memegang buku itu terlalu lama. Nah, paling tidak sampulnya adalah buku Sang Penguasa, jadi untuk saat ini itu adalah hal yang melegakan.

Saat dia membacanya sekilas tadi, buku itu adalah novel yang bercerita tentang dua sahabat yang melangkah ke jalan terlarang. Lantas, apa kira-kira judul asli buku itu? Untuk saat ini, hal itu agak membuat Tenma penasaran, dan saat dia mencoba memeriksanya...,

“Apa yang kau lakukan, Yashiro-kun?”

“Hiii!”

Mendengar namanya dipanggil, Tenma lansgung tersentak.

“Hmm, kok reaksimu seperti itu?”

Tenma meringkuk di lantai seperti janin, dan saat dia mendongak, dia melihat Souta menampilkan ekspresi pensaran.

“Apa kau menyembunyikan sesuatu?”

“Tidak, aku tidak menyembunyikan apa-apa.”

Menyembunyikan buku itu dengan cepat ke dalam blazernya, Tenma berdiri. Sikapnya itu jelas menyiratkan ada yang mencurigakan, tapi Souta tidak mengungkitnya lebih jauh. Padahal, dalam hal ini Tenma hanya perlu menjelaskan kalau ada seseorang yang kelupaan buku, tapi pada saat itu dia tidak bisa memikirkan tentang itu.

“Fuuu..., oh iya, Souta, mapel yang kau pilih sebelumnya adalah etika, kan?”

“Ya. Soalnya itu lebih enak karena kau tidak perlu pindah ruang kelas dan hanya perlu pindah tempat duduk.”

“Ngomong-ngomong, biasanya siapa yang akan menggunakan tempat dudukku?”

“Tempat dudukmu? Hm..., oh, kalau aku tidak salah...,”

Mengatakan itu, Souta menunjuk ke arah tertentu menggunakan isyarat dagu. Di arah yang dia tunjuk, di podium, ada seorang gadis yang sedang menghapus papan tulis. Rambut hitamnya yang berkilau bergoyang, dan dengan aura kehadiran yang kuat sekalipun dilihat dari belakang, tidak salah lagi dia adalah...,

“...Rinka Sumeragi.”

“Kalau aku tidak salah sih dia yang duduk di tempat dudukmu. Oh, kalau perlu kau bisa bertanya langsung padanya...”

“T-Tidak perlu! Jangan memanggilnya, toh itu bukan masalah besar!”

Souta hendak memanggil Rinka, tapi Tenma segera menghentikannya. Bagaimanapun juga, Tenma sudah mendengar rumor tentang Rinka Sumeragi yang membenci laki-laki.

Saat dia baru saja masuk sekolah, sebelum karakternya yang dingin menjadi terkenal, tidak ada habisnya jumlah pria yang tertarik dengan penampilan Rinka dan mengajak dia berpacaran. Tapi, tanpa terkecuali, mereka semua ditolak hingga menjadi trauma dengan kata-kata, “Aku membenci laki-laki”. Karena itu, dia diberikan julukan Raja Penembak Jatuh di zaman Reiwa.

Tenma membayangkannya. Perkembangan macam yang akan menunggunya ketika dirinya yang bahkan tidak begitu kenal dengan gadis seperti itu bertanya, “Apa ini bukumu?”

[Mana mungkin aku akan membaca sesuatu seperti itu, apa kau berniat mengejekku?]

Tenma yang sudah pasti dadanya dicengkram oleh gadis itu akan akan meminta maaf sambil menangis. Malahan, bisa dibilang ini sudah seperti dia memprediksi masa depan.

Dia wanita yang keren dan elegan, wanita yang tampak akan membaca buku tentang studi kerajaan, tidak mungkin seorang sepertinya memiliki hobi membaca buku yang berbau subkultur.

“Tapi kalau memang begitu, lantas siapa yang meninggalkan ini...?”

“Ada apa? Kau kelihatannya sedang berpikir keras, tapi apa kau baik-baik saja?”

“Oh, tidak, aku baik-baik saja. Makasih udah khawatir.”

Yang  jelas, tidak ada tindak lanjut yang dapat diambil di sini, jadi dia memutuskan untuk menunggu sampai pemilik buku itu muncul sendiri.

Aku tidak tahu siapa yang memiliki buku ini, tapi cepatlah ke sini dan ambil kembali buku ini! Ya ampun, bikin repot aja!

Dalam beberapa jam kemudian, Tenma yang baru saja mengumpat seperti itu akan dibuat sadar bahwa pemikirannya itu naif dan rapuh layaknya manisan permen Santa yang ada di kue natal.

Masih di hari yang sama, sepulang sekolah.

Bagi Tenma, seorang yang bergabung dalam klub langsung pulang ke rumah, ini adalah momen yang membahagiakan. Tepat ketika dia berdiri dari kursinya untuk bersiap pergi, sesuatu yang tidak biasa terjadi.

Krak, krak, krak, krak, terdengar suara yang bising.

Ruang kelas yang awalnya dipenuhi dengan suara siswa-siswi yang lagi mengobrol, tapi ketika suara bising itu terdengar, semua orang sontak menjadi merasa heran. Tenma pun juga demikian, dan saat dia menolehkan pandangannya ke arah sumber suara bising itu, dia terkejut karena melihat...

“Haa..., hah, hah..., fuuu~~...”

Seolah-olah sedang berada di ambang hiperventilasi, Rinka terengah-engah saat dia merogoh-rogoh tasnya dan menghambur isinya ke atas meja.

Di mejanya itu, apa yang tersebar di atas buku catatan dan buku referensi adalah pemutar musik yang dililit earphone, cermin lipat, sisir, kotak riasan, ponsel, dan dompet bermerek. Sedangkan di lantai, tersebar botol spray antiperspiran dan pelembab bibir. Itu sungguh berantakan, malah bisa disebut sebagai malapetaka.

Tapi, yang lebih menarik perhatian dari semua itu adalah...

“Di-Dimana...?”

Rinka bergumam dengan suara yang lemah dan putus asa. Bibirnya bergetar, wajahnya pucat, dan dia dengan gelisah mengobrak-abrik tasnya yang tidak lagi berisi apa-apa. Kesan panik yang terlihat dari dirinya itu sangat jauh dari kesan cantik dan dinginnya yang biasanya. Semua orang terkejut dengan dia yang seperti itu, tapi Rinka tidak punya waktu untuk memedulikan tatapan orang-orang di sekitarnya. Setelah dia selesai memeriksa tasnya, dia kemudian mulai mencari-cari sesuatu di laci mejanya dengan rambut yang berantakan.

Karena penampilannya itu kelihatan sangat tidak bersahabat, jadi tidak ada orang yang mencoba untuk berbicara dengannya.

“Kau kenapa, Rinka-chan?”

Akhirnya, seorang yang datang memecah kesunyian adalah sahabatnya, Reira. Mendengar suara Reira yang menghampirinya dengan khawatir, Rinka bergidik seolah-olah dia habis disiram dengan air dingin.

“R-Reira...”

“Apa kau kehilangan sesuatu? Dompet...? Oh, sepertinya bukan itu. Kalau kau tidak keberatan, aku bisa membantumu mencari barangmu yang hilang itu.”

“T-T-T-Tidak, apa yang sih kau bicarakan? Aku tidak kehilangan apapun, aku juga tidak menjatuhkan apapun, aku normal dan baik-baika saja, jadi jangan khawatirkan apapun dan tinggalkan aku sendiri!”

“...Jadi begitu, ya?”

Saat itu, senyum di wajah Reira memudar, dan mata birunya dipenuhi dengan keraguan. Meskipun Rinka ngotot menyangkalnya, tapi itu tidaklah masuk akal karena perilakunya saat ini adalah perilaku yang akan ditunjukkan oleh seorang yang berada dalam keadaan panik karena kehilangan sesuatu. Di saat semua orang di dalam kelas dipenuhi dengan tanda tanya, hanya satu orang, Tenma, yang memiliki emosi yang berbeda.

Waduh..., menundukkan kepalanya, Tenma menutupi wajahnya dengan tangannya yang berkeringat.

Dengan kata lain, saat ini, Tenma tahu apa yang sedang terjadi. Apa yang sedang Rinka cari dengan mata yang merah adalah buku paperback yang masih tertidur di meja Tenma.

Di saat yang sama, ini adalah perkembangan situasi yang merepotkan yang menciptakan masalah baru.

Duh, apa yang harus kulakukan?

Ini rasanya seperti saklar bom waktu yang seharusnya tidak berbahaya jika dibiarkan begitu saja kini terpicu dengan sendirinya. Bagi seorang amatir, jelas itu sulit untuk menjinakkan bom tersebut.

Di sisi lain, tidak dapat menemukan apa yang dia cari, Rinka bersandar di kursinya dengan wajah yang seperti melihat akhir dunia. Dalam hal ini, tidak akan aneh kalau dalam kondisi seperti itu dia langsung naik ke surga.

Cepetan sadar, dimana terakhir kali kau meletakkan bukumu itu?

Mengirim teriakan hatinya secara telepati, Tenma menunggu subjek bergerak.

Ayo, cepat ke sini dan tanyakan padaku,

[Hei, apa kau menemukan sesuatu di mejamu setelah pelajaran etika?]

Dan dengan begitu, dengan ekspresi yang seolah tidak tahu apa-apa aku akan langsung menjawabmu, [Hmm? Oh, kau benar, ada sesuatu yang tertinggal di mejaku. Mungkinkah, ini milikmu Sumeragi-san?].

Ayo, cepetan sadar!

Saat Tenma berpikir begitu selama beberapa detik, Rinka tiba-tiba berdiri dari kursinya seolah-olah dia menyadari sesuatu. Tapi, tepat saat ketika Tenma berpikir bahwa keinginanya terkabul, Rinka justru berlari ke arah lorong dengan kecepatan angin.

Mungkin, Rinka berpikir bahwa seseorang menemukan bukunya dan dia pergi untuk memeriksa kalau-kalau bukunya itu dikirimkan ke ruang guru. Tapi, sekalipun memang itu yang terjadi, bukankah itu justru hanya akan membuatnya berada dalam masalah?

Tenma menganilis seperti itu dengan tenang, tapi yah, tidak mungkin Rinka memiliki pemikiran semacam itu.

“Dia kenapa, ya?”

Dengan ekspresi melankolis, Reira membereskan barang-barang Rinka yang berserakan.

Melihat kebaikan Reira, Seperti yang kupikirkan, jika disuruh memilih antara wortel atau tongkat, maka wortel pasti lebih baik, sekali lagi, Tenma diingatkan akan hal tersebut.

“Hadeeeh, mengapa aku harus melakukan ini...”

Kata-kata yang tidak ditujukan kepada siapa pun itu terserap ke dalam udara yang tenang. Saat ini sekitar pukul 6 sore, dan langit di balik jendela sudah berwarna ungu kemerahan.

Ruang kelas saat senja bebas dari hiruk pikuk siswa-siswi, menciptakan suasana yang agak nostalgia, tapi Tenma tidak ingin menikmati suasana tersebut.

“...Baiklah, sudah tidak ada siapa-siapa lagi, kan?”

Tanpa harus bergumam begitu untuk memastikan tidak ada orang di sekitar, bahkan sekadar tanda-tanda samar dari seorang di sekitarnya tidaklah ada. Saat Tenma sudah merasa yakin tidak ada orang, dia merasa tenang, dan kemudian dia berjalan ke meja yang dia lihat dengan langkah yang hampir seperti melakukan lompatan.

“Hadeeh, bikin ngerepotin aja...”

Di tangannya, dia memegang buku paperback, dan meskipun ukurannya kecil, tapi itu cukup berat.

Sebenarnya sih Tenma berpikir bahwa akan lebih baik untuk mengembilkan buku itu secara langsung, tapi karena sudah begitu lama dia tidak langsung mengembalikannya, tidak akan bisa dhindari kalau dia akan ditanya mengapa dia tidak segera mengembalikan buku itu. Setelah itu, dengan tekanan yang setajam pedang, dia akan ditanyai apakah dia telah melihat isi buku itu... Kalau itu sampai terjadi, Tenma tidak memiliki kepercayaan diri dengan kemampuan mengelesnya.

Oleh karena itu, ide untuk mengembalikan buku itu secara langsung disingkirkan, dan ide cerdas alternatifnya adalah melakukan ini.

Mengapa gadis secantik Rinka membaca novel yuri? Itu bohong kalau Tenma bilang dia tidak penasaran tentang itu, tapi karena dikatakan bahwasannya rasa ingin tahumu bisa membunuhmu, dan kalau dia sampai mati, maka tidak ada gunanya untuk mencari tahu tentang itu.

Karenanya, besok, yang terbaik yang bisa dia lakukan adalah kembali ke kehidupannya yang seperti biasa, sebagai warga sipil biasa, dan tentunya tidak terlibat dengan kaum kelas atas seperti Rinka.

Dengan pemikiran tersebut, dia membungkuk dan meletakkan buku yang dia pegang di meja Rinka.

Pada saat itu...,

“Hmm?”

Sesuatu berwarna putih menyelinap jatuh dari antara halaman buku.

Tenma segera mengambil itu dengan pemikiran mungkin ada bookmark yang terselip di buku tersebut, tapi rupanya, dia salah.

Itu adalah kertas dengan lubang penjildan, selembar kertas loose-leaf yang dilipat mejadi ukuran kecil.

“????????????”

Namun, otak Tenma sontak membeku pada selembar kertas yang tidaklah aneh jika seorang anak SMA memiliki kertas tersebut. Pikirannya terhenti karena apa yang dia lihat memiliki beban yang melebihi kapasitas komputasi otaknya untuk memprosesnya.

Penyebabnya adalah tulisan yang ada di selembar kertas itu, atau lebih tepatnya, kalimatnya.

Bukannya Tenma sengaja ingin melihat itu, tapi karena lipatan kertas itu terbuka secara tidak sengaja saat jatuh, jadi saat dia mengambilnya dia secara alami melihatnya. Judul yang ada di selembar kertas itu adalah:

 

[Diary mencintai Reira Tsubaki             Bagian 392.]

Bulan X Tanggal Y         Di pagi hari, aku mencium aroma yang berbeda dari biasanya dari Reira. “Aku mengganti sampoku~”

Dia mengatakan itu dengan suasana hati yang gembira, tapi bahkan sebelum dia mengatakan itu padaku, aku sudah menyadari hal tersebut.

Lagipula, aku bernapas dengan tujuan untuk tidak melewatkan satu molekul pun darimu ketika aku berbicara denganmu, Reira.

 

“.........”

 

Bulan X Tanggal Y         Lagi-lagi aku menolak undangan makan siang bareng dari Reira. Aku ingin tahu, sudah berapa kali aku menolak undangan darinya?

Aaaah, aku ini bego, bego, bego banget sih! Kesanku benar-benar buruk~ (Andai saja ini adalah gim, aku ingin melakukan restart......)

Tapi, Reira sama sekali tidak tampak tersinggung dan justru mengatakan, “Lain kali aku akan mengajakmu lagi” ← Imut bangeeeet ♡ Chiyuuuuu *sfx lagi nyium*

 

“.........”

 

Bulan X Tanggal Y         Reira memberiku hadiah minyak aromatik beraroma lavender.

“Itu minya aromatik favoritku, dan biasanya kupakai saat sedang mandi. Ehehe, dengan begini kita serasi♪”

Eh, ini sudah seperti kami telah menikah dan ini praktis adalah tindakan seksual dimana dia menyukaiku dan sekalipun tidak begitu sikapnya ini pasti dimaksudkan untuk menggodaku, kan? Ya ‘kan? Tolong katakan iya!

 

“........”

 

Erm, yah, kurasa tidak (aku harus tenang). Bagaimanapun juga, gadis itu baik kepada semua orang.

Aku tahu tentang itu lebih baik daripada siapa pun. Dia adalah gadis yang polos yang tidak ingin menyakiti siapapun, seorang gadis yang menabur kasih sayang tanpa membeda-bedakan. Kadang-kadang, iblis muncul dalam diriku yang merasa ingin menjadikan hatinya itu sebagai milikku seorang. Aku benci dengan diriku yang dangkal. Jika bisa, aku ingin memeluk tubuhnya sekarang juga dan mencium lehernya dengan penuh gairah untuk membuktikan bahwa dirinya adalah milikku...

 

“Hah?!”

Di momen itu, akal sehat Tenma akhirnya kembali.

Huruf yang tertulis dituliskan dengan gaya tulisan yang rumit, dan sebelum Tenma bisa berpikir, dia secara refleks membaca huruf-huruf itu apa adanya.

“I-Ini...”

Keringat dingin yang belum pernah Tenma alami sebelumnya bercucuran dari seluruh tubuhnya.

“Reira...? Ciuman...? Milikku...?”

Entah apakah itu adalah puisi, diary, atau mungkin campuran dari keduanya? Itu dituliskan tanpa adanya jeda di antara kata, dan tulisan itu masih terus berlanjut, tapi Tenma tidak ingin membacanya lebih jauh. Bagaimanapun juga, Tenma tidak memiliki sifat masokis seperti mencoba-coba mendekat ke arah jurang maut.

“.........”

Tanpa memikirkan apa-apa, dia melipat kembali selembar kertas itu dengan kecepatan yang luar biasa, lalu menyelipkannya kembali ke dalam buku dan langsung melemparkannya ke meja Rinka.

Setelah itu, Tenma segera keluar dari kelas dan berlari menyusuri koridor yang sepi.

Suara langkah kakinya bergema kuat, tapi dia tidak memperlambat kecepatannya, juga tidak melihat ke belakang. Dia berlari dengan kecepatan penuh, seolah-olah sedang dikejar oleh dewa kematian yang membawa sabit.

Dari sana, dia bahkan tidak ingat bagaimana dirinya sampai di rumah. Tau-tau saja, Tenma mendapati dirinya sedang meringkuk di bawah selimut dan terus mengirim perintah, “Hapus ingatanku!”, kepada hippocampusnya.

Tapi, apa yang baru saja dia lalui itu begitu berdampak sehingga jelas terukir di benkanya, dimana bahkan ahli bedah jenius pun tidak akan bisa menghilangkan itu dari ingatannya.

Satu-satunya hal yang terbaik yang bisa dia lakukan dalam hal ini adalah memutuskan untuk membawa apa yang baru saja dia ketahui itu ke dalam liang kuburnya. Dia tidak pernah menyangka bahwa pada usianya yang ke-16 tahun, dia akan memiliki kesempatan untuk menggunakan idiom yang berbahaya seperti itu.

Dan dengan begitu, malam pun berlalu.



9 Comments

Previous Post Next Post