Kono △ Rabukome wa Shiawase ni Naru Gimu ga aru Volume 1 - Bab 1 Bagian 2

Bab 1 Bagian 2 (dari 3)
Dia dan Hubungan Percintannya


Konsep ‘gap moe’ itu ada, yaitu suatu fenomena ketertarikan yang diciptakan oleh efek positif dari ketidak terdugaan serta dualitas.

Contoh tipikal dari konsep tersebut adalah karakter tsundere. Sama halnya juga ketika ada seorang yakuza yang tampak garang memungut anjing yang ditelantarkan, entah bagaimana itu lebih dihargai daripada ketika warga sipil normal yang melakukan tindakan yang sama.

Dalam artian tersebut, ada juga gap moe dari wanita cantik berkemauan kuat yang dibelakang layar rupanya suka membaca novel yuri. Faktanya, saat ini Tenma memiliki kesan yang baik pada wanita itu dan berpikir, “Secara mengejutkan rupanya dia imut juga.” Cuman, bagaimana jika ada satu elemen lagi yang ditambahkan ke dalam fakta tersebut?

Wanita itu jatuh cinta pada sahabatnya. Dia sangat mencintai sahabatnya sampai-sampai dia bahkan menuliskan kalimat puitis tentang rasa rendah dirinya yang jauh melampaui persahabatan. Hal tersebut mungkin memang bisa disebut gap, tapi kalau sudah sampai pada titik itu maka komponen moe-nya menjadi tidak ada. Lagian, itu setingkat dengan suhu dingin ekstrim yang bisa menyebabkan kondisi fisik memburuk.

“Yah..., mengingat pihak lainnya sangat imut, kurasa tidak heran jika dia jatuh cinta kepadanya...?” gumam Tenma, dengan suara pelan yang tidak bisa didengar oleh siapa pun.

Jam pelajaran keempat sudah selesai, dan sekarang kelas memasuki waktu istirahat makan siang. Di arah garis pandang Tenma, ada sosok Reira yang tersenyum secerah sinar matahari.

“Rinka-chan, Rinka-chan.”

Dengan polos, Reira berlari ke arah sahabatnya dan bertanya, “Yuk makan siang bareng?”, tapi bahkan dalam mimpinya pun, dia pasti tidak menyangka bahwa orang yang dia ajak bicara itu memandangnya dengan mata yang merasa jatuh cinta.

Tapi, terhadap ajakan itu, Tenma yang melihat dokumen mengerikan itu dibuat jadi merasa skeptis. Bagaimanapun juga, Rinka dengan dingin menolak undangan dari Reira yang dia cintai dengan mengatakan “Hari ini aku punya urusan lain yang ingin kulakukan.”

Kenyataannya, tidak hanya hari ini, tapi setiap hari Rinka selalu menolak undangan dari Reira. Terhadap Reira yang mendekatinya dengan ramah, Rinka selalu saja bersikap kikuk yang jika dilihat dari luar, itu sudah seperti dia sedang membangun tembok di antara hati mereka.

Tenma tahu kalau obrolan ramah bukanlah satu-satunya jenis persahabatan yang bisa dimiliki oleh wanita, tapi meskipun demikian, tidak bisakah dia menjadi sedikit lebih ramah? Apalagi, wajahnya itu. Matanya tampak melotot seolah-olah itu adalah mata predator yang sedang berburu mangsa, dan tekanan yang hampir seperti niat membunuh membuat semua orang yang berhadapan dengannya jadi bergidik.

Faktanya, Tenma yang hanya melihat dari jauh pun merasa punggungnya jadi berkeringat dingin.

“Hmm?”

Saat itu, Rinka berdiri dari kursinya dan berjalan dengan tatapan tegas. Saat Tenma bertanya-tanya mengapa sosok Rinka lama-kelamaan menjadi lebih besar dalam bidang pandangnya, saat berikutnya...,

“Kau Tenma Yashiro, kan?”

Dengan keras, Rinka membanting telapak tangannya di atas meja Tenma, menekuk pinggulnya, dan mendekatkan wajahnya ke wajah Tenma sampai-sampai ujung hidung mereka hampir bersentuhan.

“....Y-Ya?”

Dengan tangan di pipinya, Tenma yang menegang harus berusaha semaksimal mungkin untuk bisa mengucapkan satu kalimat itu.

Saat ini, di hadapannya, ada sosok penampilan yang mirip seperti boneka, dengan adanya aroma bunga mawar yang menggelitik lubang hidungnya. Ini adalah pertama kalinya dia berada dalam jarak yang begitu dekat dengan Rinka sampai-sampai dia bisa mencium aroma itu. Perasaannya hampir seperti sedang melihat selebriti yang hanya dia lihat di TV secara langsung, dan mungkin, tekanan dari Rinka sepuluh kali lebih kuat daripada ketika dia hanya melihatnya dari kejauhan.

“Ada yang ingin kubicarakan denganmu, bisa kau ikut denganku sebentar?”

“Eh?”

Tenma tidak bisa mengalihkan pandangannya dari mata yang seolah-olah bisa melihat ke lubuk hatinya yang terdalam, dan ada jeda beberapa saat sebelum dia bisa mengerti apa yang Rinka katakan. Namun, satu hal yang pasti, dia bisa merasakan dengungan berisik di sekitarnya.

Yah, itu wajar saja. Sampai sejauh ini, Rinka tidak pernah berbicara dengan anak laki-laki di kelasnya selain utuk memaki mereka yang menatapnya. Karenanya, bisa dibilang ini mirip seperti sebuah insiden.

Nah, pertanyaannya adalah, mengapa orang yang ingin Rinka ajak bicara adalah Tenma?

Hanya ada satu alasan yang bisa menjadi jawaban untuk pertanyaan itu, hanya saja, mengapa...

“Hei?”

“Whoa!”

Sensasi napas hangat dan menyegarkan yang berhembus dari Rinka membawa Tenma kembali ke akal sehatnya.

“Aku bertanya apa kau bisa ikut denganku sebentar, tapi kau bisa ‘kan?”

“Erm...”

Tau-tau saja, pertanyaannya itu menjadi seperti bentuk imperatif. Tapi, meskipun Tenma terintimidasi oleh sikap Rinka yang dingin, dia memutuskan bahwa dia perlu untuk menjernihkan pikirannya.

“Maaf, aku tidak bisa. Aku sudah punya janji dengan temanku untuk makan siang di kantin sekarang..., ya ‘kan, Souta?”

Itu adalah sinyal SOS yang jelas dari Tenma, tapi Souta, “Hm”, hanya menoleh ke arahnya dengan wajah bingung. Yah, itu wajar saja jika dia berekspresi begitu ketika dia ditanyai janji yang tidak dia buat, tapi karena dia orangnya perseptif, jadi dia pasti bisa diajak bekerja sama.

Rinka yang memberi tekanan dalam suasana yang tidak biasa, dan Tenma yang dibuat terintimidasi karena Rinka. Meskipun Souta merasa bingung dengan komposisi yang aneh seperti itu, tapi setelah beberapa saat, “Aah”, dia mengangkat suaranya seolah-olah dia menyadari sesuatu.

Ya, itu maksudku, cepet bawa aku keluar dari situasi ini sekarang, dalam hati, Tenma merasa senang, tapi...,

“Tidak apa-apa, Yashiro-kun! Jangan khawatirkan aku dan prioritaskan saja Sumeragi-san!”

“W-Woi!”

Mengatakan itu dengan ramah, Souta mengacungkan jempolnya seolah-olah dia baru saja melihat penampilan gemilang dari seorang atlet. Matanya yang berbinar itu tampak seolah-olah dia mengatakan, “Bersenang-senanglah!”. Sepertinya, skill campur tangan miliknya telah diaktifkan.

“Dengan begini kurasa kau tidak punya lagi alasan untuk menolak.”

Mengatakan itu, Rinka menunjuk ke arah lorong menggunakan gestur wajah dan mengatakan “Ikuti aku”. Kata-katanya itu seperti ungkapan yang sering digunakan dalam manga berandalan, tapi karena Tenma takut dia akan mendapat masalah jika dia menurutinya, jadi dia mengumpulkan sedikit keberanian yang dia miliki.

“T-Tunggu, kalau mau bicara, tidak bisakah kau membicarakannya di sini saja...?”

Dengan tekad baja, Tenma menunjukkan sikap tak goyah layaknya patung yang kokoh dan menegaskan bahwa dia tidak akan pergi dari situ, tapi...,

“Udah, ikut saja!”

Layaknya mimpi yang tak menjadi kenyataan, Rinka meraih pergelangan tangan Tenma dan menariknya. Meskipun mendapati dirinya tiba-tiba ditarik oleh seorang gadis, tapi Tenma tidak memiliki celah untuk merasa senang.

“Hiiii!”

Dengan cengkaraman layaknya graple yang sulit dipercaya bahwa itu adalah tangan seorang gadis, Rinka meluncur dengan cepat sambil menyeret tubuh Tenma bersamanya.

Nah, karena badai musim semi  memang selalu datang secara tiba-tiba, jadi tidak ada cara bagi Tenma untuk melawan.

 

Tanpa memperdulikan Tenma yang tampak hampir menangis dan mengeluh, “Lepaskan aku, aku bisa berjalan sendiri.” Rinka yang sedari tadi hanya diam terus berjalan melalui tangga dan menyusuri koridor dengan langkah yang cepat.

Setelah melalui perjalanan yang terasa seperti berlangsung selamanya, mereka berhenti di ruang audiovisual di gedung lain. Di sana, Tenma akhirnya dibebaskan dari pengekangannya, tapi saat berikutnya, tengkuknya di cengkram dan punggungnya di dorong. Sontak Tenma langsung memperkuat topangan kakinya, dan entah bagaimana dia berhasil terhindar dari jatuh.

Klak, mendengar suara yang tak menyenangkan, Tenma berbalik dan melihat bahwa Rinka mengunci pintu ruangan. Istilah ‘penculikan’ mungkin sangat cocok untuk mendeskripsikan situasi Tenma saat ini.

“Kau, apa yang sih kau mau...!”

Menerima terlalu banyak perilaku arogan, sejujurnya, Tenma merasa marah dan kesal. Karenanya, dia berpikir bahwa di sini dia mesti bersikap selayaknya seorang pria dan meneriakkan itu pada Rinka, tapi sayangnya dia hanya mampu mempertahankan sikap itu selama dua detik.

“Hiiii...”

Soalnya, wanita dengan mata melotot tak berkedip mendekat selangkah demi selangkah ke arahnya. Perasaan putus asa sontak memenuhi dirinya, layaknya dia sedang dipojokkan oleh seorang pembunuh berantai.

Di ruangan yang telah terkunci ini, tidak mungkin akan ada gembala yang akan menolongnya. Tenma yang terjebak di dekat jendela telah menjadi domba yang hanya perlu menunggu waktu untuk dimangsa.

Tunggu, kita bisa membicarakan ini baik-baik, tanpa memberi Tenma waktu untuk memohon seperti itu, wanita jangkung yang berada tepat di depannya itu menatapnya dengan tatapan mata yang mengerikan.

Hal tersebut membuat Tenma secara naluriah tahu bahwa dirinya akan dibunuh, dan tiba-tiba, sebuah tinju diayunkan.

“Setidaknya jangan pukul wajahku!”

Secara refleks, Tenma memejamkan matanya dan menyilangkan tangannya di depan wajahnya untuk melindungi wajahnya yang tidak tampan-tampan amat.

Tapi, tidak peduli seberapa lama dia menunggu datangnya rasa sakit, tidak ada kekerasan sepihak yang melukai tubuh Tenma.

“Kau tahu ini, kan?”

Mendengar suara Rinka, Tenma menurunkan kewaspadaannya, dan ketika dia membuka mata, dia melihat buku seukuran telapak tangan ditunjukkan di depannya. Melihat sampul dari buku yang tampak seperti akan menjelaskan tentang jalan seorang penguasa, Tenma merasa tidak asing dengan buku itu.

“Tadi pagi aku menemukan ini di mejaku. Kau yang meletakannya di sana, kan?”

“......”

Tenma ingin menjawab, “Aku tidak tahu”, tapi dia dibungkam oleh Rinka yang memandangnya ke bawah dengan penuh tekanan. Meskipun tinggi mereka hampir sama, tapi Tenma meringkuk seperti kucing, sedangkan Rinka berdiri layaknya model dengan punggung yang tegak.

“Sungguh..., aku sendiri juga benar-benar bodoh. Kalau saja aku memikirkannya dengan tenang, maka aku pasti akan langsung mengetahuinya.”

Haah, menghela napas suram, Rinka dengan kesal menyibakkan rambutnya dari telinganya.

“Niatnya aku membawa buku [Hasrat Perawan] ini untuk bisa mendapatkan waktu yang nyaman di pelajarannya si botak Yamada yang cuman bisa membuat joke yang menyerupai pelecehan seksual..., tapi aku justu melupakannya. Sungguh, keteledoran memang merupakan monster yang bisa menghancurkan manusia.”

Entah apakah untuk mengekspresikan disiplin dirinya, Rinka mengangkat bahunya dengan berlebihan. Di sisi lain, Tenma merasa heran bahwa rupanya novel itu memiliki judul seperti itu, tapi dia tidak mengatakan sepatah kata apa pun tentang itu.

“Oooh...., jadi itu bukan buku Sang Penguasa, ya?”

Aku hanya mengembalikan barang yang ketinggalan, dan aku tidak tahu apa-apa soal buku itu. Dengan niat untuk meminilkan luka yang ada, Tenma mencoba pura-pura tidak tahu dengan semangat yang bahkan bisa menipu pendeteksi kebohongan, tapi...

“Jangan pura-pura bego!”

“Maaf!”

Dengan mudah, Tenma langsung menyerah saat tangan Rinka menyerempet pipinya dan didorong ke jendela di belakangnya.

Apa yang tercemin dalam bidang pandang Tenma adalah kemarahan. Ini adalah pertama kalinya dia menerima kabe-don, atau dalam hal ini mungkin lebih tepatnya disebut mado-don. Tapi yang jelas, hal ini sama sekali tidak membuatnya merasa senang.

[Catatan Penerjemah: Kabe-Don merujuk kepada tindakan menampar keras sebuah tembok, yang menghasilkan bunyi keras. Istilah ini berasal dari kata 壁 kabe yang berarti "tembok", dan ドン don yang merupakan onomatope Jepang untuk suara banting, mirip "buk/buak" dalam bahasa Indonesia. Nah, karena di sini yang ditampar adalah jendela "窓", maka disebutnya Mado-don.

Biasanya Kabe-don ini sering dilakukan oleh karakter pria, yang ingin bertindak atau mengatakan sesuatu kepada karakter cewek, dalam sebuah momen yang romantis di serial anime maupun dunia nyata.]

“Alasan kau tidak mengembalikannya secara langsung padaku adalah karena kau merasa bersalah tentang sesuatu. Dengan kata lain..., kau melihat apa yang ada di dalamnya, kan?”

“Ugh...”

Menerima argumen yang tepat sasaran, Tenma kehilangan teknik mengelesnya.

“...Y-Ya, itu benar, aku melihatnya.”

Dalam keputusasaan dan seperti hampir menangis, Tenma meneriakkan perasaannya.

“Inilah yang aku paling tidak ingin sampai terjadi! Sungguh, orang yang memiliki harga diri tinggi benar-benar merepotkan!”

“Jangan berisik, gendang telingaku jadi terasa sakit, tau!”

“Kau lah yang berisik! Di sini tuh aku hanya berusaha untuk merahasiakan soal ini, tau!”

Layaknya tikus terpojok yang menggigit kucing, Tenma yang terpojok kini sudah muak menahan diri.

“Dengar ya? Aku sama sekali tidak peduli dengan teman sekelasku yang tidak bergaul denganku, apalagi dengan wanita yang tidak pernah ku ajak bicara sebelumnya. Entah buku apa yang kau baca ataupun hobi eksentrik macam apa yang kau miliki...., aku sama sekali tidak tertarik dengan itu, jadi jangan khawatir! Aku tidak akan pernah memberitahukannya pada siapa pun kok!”

Mengatakan itu degan satu tarikan napas, Tenma kemudian menaik-turunkan bahunya seolah-olah dia habis berlari jarak pendek. Nah, yang barusan itu adalah pernyataan yang keluar begitu saja dari mulutnya, tapi itu mungkin cara yang paling baik baginya untuk melalui situasi ini.

Mendengar kata-kata Tenma, ekspresi Rinka masih tidak berubah, tapi salah satu alisnya berkedut.

“Begitukah? Baguslah, aku jadi lega.”

Seolah ingin memasukkan pedangnya kembali ke dalam sarungya, Rinka menarik tangannya yang terulur dan mundur satu langkah. Langkah yang merupakan langkah kecil bagi umat manusia itu, bagi Tenma saat ini, itu adalah langkah yang amat besar.

“K-Kalau gitu urusan kita sudah selesai, kan...?”

Mengatakan itu, Fiuuh, Tenma menarik napas untuk mendinginkan suasana.

Entah bagaimana, aku berhasil melalui ini, pikir Tenma, merasa bangga pada dirinya sendiri. Bagaimanapun juga, jika situasinya terus membaik seperti ini, dia akan dapat menyelesaikan ini tanpa harus menyentuh poin yang paling berbahya.

“Kalau begitu, aku pergi.”

Mengatakan itu secara sepihak, Tenma melangkah pergi. Tolong, jangan katakan apapun, jangan hentikan aku, biarkan aku pergi dengan mudah. Kata-kata hatinya itu sudah seperti dia adalah pencuri yang menyembunyikan suatu barang, tapi sayangnya...,

“Boleh aku bertanya satu pertanyaan lagi padamu?”

Suara yang membekukan udara dalam sekejap menusuknya. Tubuh Tenma sontak berhenti bergerak, meskipun dia sama sekali tidak dibentak atau dimarahi.

“...Apa kau melihat sesuatu yang terselip di dalam buku ini?”

“—...!”

Deg-deg-deg-deg-deg, Tenma mendapati jantungnya berdetak dengan sangat cepat saat mengirimkan aliran darah yang panas.

Tubuhnya yang dikuasai oleh rasa takut menjadi kaku, dan bahkan ujung jari kelingkingnya pun sama sekali tidak bisa bergerak.

Ini jelas merupakan situasi yang buruk, reaksi yang Tenma tunjukkan sudah seperti memberikan jawabannya yang sebenarnya, dan Rinka pasti bisa menilai reaksi yang Tenma tunjukkan itu. Jika demikian, itu bukanlah ide yang baik untuk mengeksposnya seperti ini.

Tenma berbalik, tulang-tulangnya berderit dan menccicit seolah-olah itu dihubungkan menggunakan baut yang berkarat.

“Apa maksudmu...?”

Tenma mengerti bahwa yang Rinka maksud pasti adalah soal diary. Masalahnya adalah, bagaimana cara yang terbaik untuk menjawab pertanyaan Rinka?  Apalagi, dia saat ini menundukkan kepalanya, dan karena wajahnya ditutupi oleh tirai rambut hitamnya, emosinya tidak bisa terbaca.

“.........”

Tenma bingung, mengapa Rinka tidak menjawab apa-apa?

Yang jelas, entah apapun strategi yang Tenma, itu penting baginya untuk menyelesaikan strategi tersebut.

“Apa ada sesuatu yang terselip di buku itu?”

Ayo, percaya dirilah, pikir Tenma, menyemangati dirinya sendiri. Nah, kenyataannya, di awal dia memang tidak tahu tentang keberadaan diary itu.

“Aku tidak melihat apa-apa, jadi aku tidak tahu apa yang kau maksud?”

Dari awal hingga akhir, tidak ada yang aneh dari caranya berbicara. Bahkan di sini dia mungkin telah memainkan akting yang amat sangat baik. Dia tidak bisa melihat wajah Rinka, tapi untungnya tidak ada suasana kecurigaan yang tampak dari diri gadis itu.

“Begitukah?”

“Y-Ya, kalau begitu, aku pergi dulu...”

“Tunggu. Satu hal lagi, sungguh, satu hal lagi, bolehkah aku menanyakan sesuatu?”

“A-Apaan sih? Lama-lama kau jadi terasa ngeselin, tau...”

“Mengapa kau berbohong?”

“Eh?”

Pada saat itu, arus listrik mengalir ke seluruh tubuh Tenma. Kejutan itu layaknya sambaran petir yang menyambarnya dari atas kepalanya hingga ujung jari kakinya, membuatnya tidak bisa berkata-kata karena saking terkejutnya.

Pasalnya, Rinka yang perlahan mendongak sedang menampilkan senyuman.

Rinka adalah gadis yang dingin sehingga orang-orang pasti akan percaya kalau ada yang mengatakan bahwa sejak lahir sampai saat ini dia tidak pernah tersenyum, tapi saat ini, sudut bibirnya terangkat, dan sudut matanya diturunkan dengan lembut.

Melihat ekspresi yang Rinka tunjukkan, Tenma merasa tenggorakannya sangat kering sampai-sampai rasanya sulit untuk menelan ludah, dan dadanya bergejolak.

Apa yang terjadi? Tidak, apa yang akan terjadi?

“Mengapa, kau, berbohong?

Rinka mengajukan pertanyaan yang sama, namun setiap katanya dipisahkan seolah-olah dia sedang mencoba menenangkan bayi.

“...Apa yang kau maksud dengan berbohong?”

“Di dalam buku ini, ada selembar kertas yang terselip.”

“Sudah kubilang, aku tidak tahu apa-apa soal itu?!”

“Halamannya berbeda, sebelum dan sesudah buku ini kembali padaku, tempat lembaran itu terselip telah berubah. Dan sebelum buku ini kembali padaku, orang yang menyentuhnya hanya ada satu.”

“....”

Grrrrrrrr, suara seperti itu terdengar saat Tenma menggertakkan gigi belakangnya. Wajar saja, bagaimanapun juga dia sekarang menyadari bahwa dia membuat kesalahan tak bisa diperbaiki.

“Sekarang, inilah yang menjadi pertanyaannya. Mengapa pria yang harusnya menyelipkan selembar kertas itu dengan tergesa-gesa, mencoba untuk berpura-pura tidak tahu apa-apa?”

Masih tersenyum, Rinka menegurnya untuk jujur seolah-olah dia adalah seorang guru TK.

“Jawaban untuk itu sederhana. Itu karena pria itu telah membaca teks yang tertulis di selembar kertas itu, dan karena dia tidak ingin mendapatkan masalah, dia memutuskan untuk berpura-pura tidak tahu apa-apa. Benar, kan?”

Sekarang, tidak lagi ada jalan keluar untuk Tenma. Jika ini diibaratkan sebuah drama menegangkan berdurasi 2 jam, maka ketika sekitar pukul 22:43, tidak ada slot waktu yang tersisa lagi kecuali pengakuan penuh air mata atas kejahatan yang telah dia lakukan.

[Catatan Penerjemah: Drama 2 jam adalah bentuk siaran drama TV di Jepang. Umumnya, drama disiarkan selama sekitar 2 jam dari pukul 21:00 –23:00 (Sebagian ada juga yang dari 20:00 – 22:00).]

“Maaf.”

Kalau sudah begini, Tenma tidak punya pilihan selain menerima hukuman apa pun yang akan diberikan.

“Tapi, itu juga tidak seperti aku ingin melihatnya.”

Dengan perasaan lemas dan pasrah, Tenma menunggu hukuman diberikan kepadanya.

Namun, tidak peduli berapa lama dia menunggu, wajah Rinka tidak kunjung berubah menjadi seperti topeng Hannya. Dia tidak diserang ataupun dimaki, malahan...,

[Catatan Penerjemah: Lihat topeng Hannya melalui tautan ini.]

“.....Eh?”

Pada saat itu, tetesan air mengalir turun, membuat pikiran Tenma sontak hancur.

Layaknya sinar matahari yang jatuh melalui pepohonan setiap kali daun berdesir, berulang kali, butiran cahaya transparan meluap dan membasahi pipi Rinka. Warnanya murni dan misterius, seolah-olah itu diambil  dari mata air tempat roh-roh bersemayam.

Tercengang, Tenma membutuhkan waktu selama beberapa saat untuk menyadari bahwa Rinka sedang menangis. Jeda itu tercpita karena menurutnya tidaklah mungkin, seorang seperti dirinya akan membuat Rinka Sumeragi menangis.

“Fu, fufufu, fufufu..., aku tidak menyangka, kesucianku, akan diambil oleh pria seperti ini....”

Tawa menakutkan yang bocor keluar itu terdengar layaknya kesiapan tekad maupun kepasrahan.

“Ibu, Reira, maafkan aku..., mulai sekarang, aku akan menjadi wanita yang cukup rendahan.”

“Kau ini lagi ngomongin apaan sih...?”

Rinka yang cekikikan dalam monolog yang tidak bisa Tenma pahami dengan kasar menghapus air mata yang mengalir di pipinya dan mengangkat alisnya, kemudian...,

“Ayo, mulai dari mana saja!”

Mengatakan itu, dia mengambil pose aneh dengan kedua lengan yang terentang dan kaki yang mengkangkang. Posenya itu membuat Tenma teringat tentang video trenggiling yang menampilkan pose mengancam akan menyerang, yang mana itu tampak lucu karena trenggiling itu tidak terlihat seperti sedang mengancam, dan justru malah membuat seluruh dunia menertawakannya.

“...?”

Tapi, ketika wanita di depannya berubah menjadi eksentrik seperti itu di kehidupan nyata, posenya itu hanya bisa dikatakan tak dapat dimengerti maksudnya. Setelah melalui keheningan yang cukup lama, eskspresi Rinka berubah seolah-olah dia memahami sesuatu.

“Oh, begitu ya, aku mengerti. Pertam-tama dimulai dari aku..., ya ‘kan?”

“O-Oi?!”

Dengan kasar, dia mengarahkan jari-jarinya ke kerahnya dan melepaskan ikatan dasinya.  Sontak saja, celah yang terbentuk di pakaiannya membuat tulang selangkanya yang seksi terlihat. Kemudian, dengan jari-jari yang sama, dia membuka kancing kemejanya satu per satu dari atas ke bawah, hingga kemudian bentuk serta pola dari bra-nya terlihat di mata Tenma.

“Tunggu blokkk!”

Meneriakkan itu, Tenma segera meraih lengan Rinka.

“K-Kau ini berniat menanggalkan pakaianmu apa?”

Terhadap Tenma yang kesabarannya sudah mencapai batas, “Di saat-saat seperti ini jangan sok berpura-pura bodoh!”, Rinka meludah kesal dengan mata yang tampak berkaca-kaca.

“Lagian, aku tuh tahu seperti apa pemikiran binatang buas.”

“Hah?”

“Kau pasti akan memanfaatkan ini sebagai kesempatan untuk secara perlahan dan menyeluruh memerasku, dan pada akhirnya mengubahku menjadi budak seksmu, kan? Haah, laki-laki memang benar-benar yang terburuk. Mereka adaalah makhluk terburuk yang otaknya terhubung langsung ke bagian bawah tubuh mereka.”

“Memangnya kapan dan siapa yang membuat pemerasan seperti itu?!”

Ini tuh bukan dunia komik porno, tau!, tambah Tenma, tapi bahkan ceramah langsung seperti itu hanya masuk di telinga kanan dan keluar di telinga kiri bagi Rinka. Dia bahkan merasa seperti bisa mendengar suara cangkang akal sehat Rinka yang terkelupas karena rapuh.

“Di sini aku sudah siap, jadi bisakah kau menyelesaikannya dengan segera?”

“Jangan seenaknya merasa siap secara sepihak seperti itu!”

Tanpa memedulikan kata-kata Tenma, Rinka yang proses berpikirnya tampaknya menjadi satu tingkat dengan babi hutan mulai meraih pengait roknya. Melihat itu, sekali lagi Tenma segera meraih pergelangan tangan Rinka untuk mencegahnya melakukan itu, tapi...

“...Eh, sial...”

Tiba-tiba, dia kehilangan keseimbangan dan terjatuh. Momentum jatuhnya itu membuat tubuhnya menghantam lantai dengan kekuatan yang cukup besar, tapi rasa sakit yang muncul tidak sesakit yang dia kira. Rupanya, itu karena tubuh Rinka memberikan bantalan yang lembut kepadanya.

“M-Maaf! Apa kau baik-baik saja..., hmm?”

Tenma segera meminta maaf karena menindihnya, tapi wanita yang ada di bawahnya sama sekali tidak menjawab apa-apa. Dia berbaring telentang, tak menyembunyikan belahan dadanya serta lelukan tubuhnya yang membentang dari dadanya sampai ke pusarnya.  Dalam sosoknya yang setengah telanjang itu, dia yang sama tidak bergerak satu inci pun menjadi bukti bahwa dia akan menerima segala perlakukan yang akan diberikan kepadanya.

Tatapan tajam yang seolah-olah mengatakan, “Kalau mau melakukannya, maka lakukan saja,” menusuk Tenma.

“Oi, jangan masuk ke mode dipeluk seenaknya gitu!”

Saat berikutnya, dengan mata yang tampak tak bernyawa, Rinka menatap kosong ke kejauhan.

“Jangan juga menghitung noda yang ada di langit-langit!”

“...Apaan sih, kau punya fetish mendengar jeritan seorang gadis atau semacamnya? Oke, oke, [Mama, tolong aku], udah? Puas?”

“S-Si tolol ini...”

“Aku sama sekali tidak takut kok. Entah seberapa kotor tubuhku ini, tapi hatiku..., hatiku hanya milik Reira seorang!”

“Ya ampun, tenanglah, aku tuh cuman...”

“Berisik. Memangnya kau..., memangnya kau mengerti bagaimana perasaanku?!”’

Sekali lagi, kristal kesedihan kembali mengalir di pipi Rinka saat dia memalingkan wajahnya ke samping. Mengalir, terus mengalir, seolah-olah rangkaian emosi yang terus dia tahan kini meluap keluar.

“.........”

Melihat tangisan Rinka, Tenma merasa dadanya menjadi sesak. Rinka, dengan wajah yang merah cerah dan mata yang penuh kelembapan, bukanlah lagi orang yang sama sepert biasanya. Wajahnya yang telah kehilangan ketenangannya kini hanya tersisa wajah kekanak-kanakkan yang sesuai dengan usianya.

“Aku memiliki nafsu yang terlarang pada sahabatku. Untuk memenuhi nafsu tak terpuaskan di kehidupan nyataku, aku membaca novel yuri. Aku bahkan sampai menulis diary yang menyakitkan. Dan sekarang, semua itu telah diketahui orang lain?!”

Gelombang rasa bersalah yang tiba-tiba menyerang tubuh Tenma membuatnya merasa seolah-olah tubuhnya kini bukanlah lagi miliknya.

“Aku mengerti kalau aku adalah wanita dengan nafsu yang gila. Tapi, apa lagi yang harus kuperbuat? Aku menyukainya. Aku..., telah jatuh cinta kepadanya. Hei, memangnya apa yang salah dengan itu?”

“Aku tidak pernah bilang kalau itu adalah hal yang salah.”

“Terus terang saja, lagian kau juga pasti tertarik, kan? Rasa maluku sudah lama hilang. Mulai sekarang..., bagaimana aku harus melanjutkan hidupku?”

“M-Maaf, ini salahku karena telah melihat isi buku serta lembaran itu tanpa izin. Tapi, jangan khawatir. Aku bersumpah demi Tuhan kalau aku pasti akan tutup mulut, dan juga..., aku akan melakukan apa pun yang bisa membuatmu jadi merasa lebih baik, jadi tenanglah, oke?”

“Begitukah? Kalau begitulah pulihkan kembali hatiku yang patah sekarang~..., baka~!!”

“Duh, ‘kan sudah kubilang aku minta maaf!”

Di samping gadis SMA yang menangis, ada seorang pria menyedihkan yang dengan sungguh-sungguh melakukan dogeza. Apa yang Tenma lalui ini mungkin bisa dikatakan sebagai pengalaman yang langka, tapi jika bisa, dia ingin menghabiskan hidupnya tanpa harus mengetahui tentang semua ini.

 

Dari kejauhan, terdengar suara bel yang berdering. Itu adalah pra-bel yang memberitahu kalau jam pelajaran siang sebentar lagi akan dimulai, tapi saat ini, suara bel itu hanya terdengar seperti deringan biasa saja.

“...Hiks, hiks.”  

Menghabiskan seluruh waktu istirahat makan siangnya dengan menangis, Rinka kini duduk sambil memegang lututnya di sudut ruangan. Kepalanya tampak terkulai lemas layaknya morning glory yang layu karena lupa disirami.

“Hei, erm...”

Namun, terhadap wanita yang dalam suasana hati sedih itu, Tenma tidak tahu harus berkata apa.

“Apa kau masih hidup?”

“.........”

Tidak ada tanggapan yang kembali. Rambut hitam lurusnya yang sangat panjang mengalir ke lantai layaknya sungai, dan untuk beberapa alasan, hal itu membuat Tenma teringat akan cerita anak-anak yang berjudul Setan Merah yang Menangis, tapi dia tertarlu ingat seperti apa jalan ceritanya.

Nah, karena dalam situasi ini tidak ada gunanya untuk melarikan diri dari kenyataan, jadi untuk saat ini, Tenma mengambil dasi Rinka yang jatuh di lantai dan memberikannya kepadanya.

“Nih, pakai dasimu kembali. Jam pelajaran kelima akan dimulai sebentar lagi.”

“......”

“Dan juga, akan canggung kalau kau kembali ke kelas dengan mata yang memerah, jadi sebaiknya kau berhenti menangis sesegera mungkin.”

“......”

Rinka terus diam, sama sekali tidak ada menunjukkan tanda-tanda pergerakan. Kalau sudah begini, memberikannya suntikan terapi kejut mungkin akan berguna, jadi dengan enggan Tenma mencoba melakukan itu.

“Aku merasa canggung mengatakan ini padamu, tapi..., sedari tadi sempakmu kelihatan.”

“Mati.”

Meskipun itu adalah ide yang agak buruk, tapi sepertinya itu berhasil. Mendongak dengan mata yang berkaca-kaca, Rinka kemudian berdiri sambil ditarik oleh Tenma. Sungguh, dia benar-benar wanita yang tinggi, ketika Tenma berpikiran seperit itu. “Zzzz!”, Rinka menarik ingusnya tanpa rasa malu dan kemudian mengusap wajahnya dengan lengan bajunya untuk menghapus jejak air matanya.

Setelah selesai mengelapnya, dia meraih dasinya yang tergantung di tangan Tenma dan langsung memasukkannya ke dalam saku blazzernya alih-alih memakainya di lehernya. Dia juga segera mengancingkan kembali kemejanya dengan cepat.

Setelah itu...,

Matanya tampak bergerak-gerak tidak nyaman, tapi pada akhirnya tatapannya tertuju pada Tenma. Bulu matanya yang panjang hingga sangup menahan korek api itu, tampak seperti kelopak bunga yang basah oleh embun pagi. Dia menatap Tenma dengan mutut yang tampak merasa tidak puas, dan tatapannya itu juga tampak seperti dia ingin mengatakan sesuatu, tapi tidak kunjung mengatakan apa-apa.

“Maaf ya.”

Menyerah pada keheningan, Tenma meminta maaf untuk yang kesekian kalinya. Sampai beberapa saat yang lalu, dia berpikir bahwa dirinya lah yang merupakan korban, tapi kini pemikiran itu benar-benar telah hancur. Dia tidak menyangka bahwa air mata dari seorang wanita bisa memberikan tekanan yang sangat kuat. Itu curang, licik, tau, keluhnya, tapi tidak ada yang bisa menilai apakah keluhannya itu benar atau tidak.

“Mengapa kau meminta maaf?”

“Bagaimanapun juga itu memang benar kalau aku telah melihat isi buku itu serta apa yang terselip di dalamnya....”

“Bukankah kau sudah bilang padaku kalau kau tidak melakukannya dengan sengaja? Atau apakah itu bohong?”

“Aku tidak bohong, tapi...”

“Kalau gitu jangan meminta maaf lebih dari yang diperlukan. Hukuman internal seperti itu menyebalkan, tau!”

“Y-Ya..., hm, eh?”

Merasa percakapan mereka berlangsung sangat lancar, Tenma merasa ada yang aneh.

“Mengapa kau menampilkan ekspresi bingung seperti itu?”

“Tidak..., hanya saja di sini aku sudah bersiap menerima tamparan di wajahku.”

“......”

Kau mau aku tampar? Ekspresi wajah Rinka tampak seperti mengatakan itu saat dia mengangkat tangan kanannya, jadi Tenma segera mengoreksi perkataannya, “B-Bercanda, aku cuman bercanda!”

“Jangan salah paham loh ya..., tadi itu aku hanya sedikit depresi saja. Sebenarnya aku tuh orang yang kalem dan berpikiran tenang, kau mengerti?!”

Mau dilihat dari sudut pandang manapun, depresinya tadi itu sama sekali tidak pada tingkat yang kecil, dan tidak akan tepat juga untuk menyebut Rinka dalam keadaan normalnya sebagai orang yang kalem. Tapi yah, tidak mungkin Tenma akan melontarkan tsukkomi seperti itu.

“Tanpa kau harus mengatakan itu pun aku juga sudah tahu!”

Kenyataannya, meskipun terintimidasi oleh tatapan rasa ingin tahu, dia belum pernah melihat adegan dimana Rinka menyentuh siapapun secara fisik. Dalam artian tersebut, apakah..., itu aman?

“Hmm? Entah mengapa rasanya aku tidak nyaman ketika kau bisa diyakinkan semudah ini.”

“Astaga, bisa gak sih jangan berpikiran terlalu negatif begitu?!”

“Haaah..., ya ampun...”

“Apa lagi?”

Menundukkan kepalanya secara berlebihan, Rinka meletakkan tangannya di pelipisnya seolah-olah menahan rasa sakit migrain.

“Dari semua orang yang ada, mengapa harus pria biasa, berwajah polos, membosankan, dan tidak menarik seperti ini yang mengetahui rahasiaku...? Haah~, ini sungugh menyebalkan.”

“Woi, apa kau tahu yang namanya pelecehan verbal?”

Tidak sadar bahwa kata-katanya itu layaknya pisau tajam yang mengiris hati Tenma, Rinka lanjut berbicara...,

“Tidak..., dalam hal ini aku harus berpikiran positif.”

Dengan acuh tak acuh, dia menjentikkan jarinya.

“Apa yang kau bicarakan?”

“Malahan, bisa dibilang ini adalah berkah dalam ketidakbahagiaan.”

“Astaga, kau ini lagi ngomoning apa sih?”

“Aku hanya ingin mengatakan kalau aku senang orang sepertimu yang mengetahui rahasiaku.”

“...Hah?”

Mengambil postur tubuh condong ke depan, Rinka mendekatkan wajahnya ke wajah Tenma, membuat Tenma segera menarik mundur pinggulnya.

“Kau akan merahasiakan semua yang kau tahu tentang aku, kan?”

Jarak yang menunjukkan batas antara iris dan pupil matanya tampak sangat jelas. Di dalam gradasi warna menara matanya itu, wajah Tenma terpantul dengan jelas, tapi engah mengapa, matanya tampak seperti menatap ke arah yang jauh, sangat jauh.

Rinka tidak menggigit ataupun mengancamnya, matanya itu hanya sedang mencoba untuk melihat, apakah pria yang berada di depannya layak untuk dipercaya? Apakah pria yang berada di depannya bisa memegang perkataannya?

“Y-Ya..., aku janji, aku akan merahasiakannya.”

Di hadapan sepasang mata yang kesannya seolah-olah menghisapnya, Tenma jadi linglung, seolah-olah dia sedang berjalan sambil tertidur.

“...Sip! Baguslah kalau begitu.”

Fuu, merasa puas, Rinka menghela napas. Kemudian, dengan senyum di mulutnya, dia mengangkat tangannya dan meregangkan tubuhnya layaknya anak kecil yang membuang payungnya setelah hujan reda.

“Ya ampun, suasana hatimu itu cepat sekali berubah, ya...”

Kemana perginya kepanikannya beberapa menit yang lalu, merasa heran, Tenma mengedip-ngepidkan matanya yang kering.

“Lagipula sekalipun rahasiaku terungkap, toh yang mengetahuinya hanya satu orang. Jadi aku tidak perlu panik.”

“Astaga, dari tadi ‘kan niatku memang sudah menyuruhmu untuk jangan panik...”

Tadi itu jadi rumit gara-gara ada orang yang kehilangan ketenangannya, tau..., pikir Tenma, menatap Rinka dengan kesal, tapi kemudian...,

“Kalau kau punya sesuatu yang ingin kau katakan, bisakah kau mengatakannya dengan nyaring?”

Diberitahukan kata-kata seperti itu, Tenma tidak punya pilihan selain menelan kekesalan yang ingin terlontar di mulutnya.

Saat mereka bertukar kata secara langsung seperti ini, sebuah perasaan muncul di dalam diri Tenma. Dirinya mungkin perlu untuk mengubah persespsinya tentang Rinka Sumeragi. Memang benar kalau dia adalah orang yang tajam seperti yang terlihat dari penampilannya, tapi dia tidak menunjukkan kemarahan yang tidak masuk akal. Selain itu, yang lebih penting lagi....

“Tapi ngomong-ngomong, kau tidak menyangkalnya, ya?”

“Apa maksudmu?”

“Yah, kau tahu...”

“Maksudmu soal Reira?”

Mendengar itu, Tenma mengangguk dalam diam.

“Tidak ada gunanya mencoba untuk menyembunyikan soal itu sekarang. Aku mencintai Reira. Aku sangat mencintainya sampai-sampai kepalaku terasa seperti mendidih, dan membuatku akan menuliskan monologku yang menyakitkan.”

Dia tidak menyangkalnya, atau bahkan mengelak, tapi itu juga tidak berarti bahwa di sini dia bersikap lugas. Apa yang bisa dirasakan darinya adalah keyakinannya yang kuat serta hatinya yang lurus.

“Jika ada orang yang membuat gadis itu sedih, aku tidak akan pernah memaafkan orang tersebut. Dan jika ada orang menyakitinya, aku akan membuat orang itu merasakan semua rasa sakit yang ada di dunia ini, dan kemudian menenggelamkannya di Teluk Tokyo. Setelah itu, aku akan mati juga.”

“Tidak, hiduplah! Memangnya kau ini yakuza yang membunuh bosnya apa?!”

“M-Maaf..., aku hanya ingin menyampaikan kalau secinta itulah aku pada Reira.”

Telinga Rinka memerah, dan kemudian terdengar suara yang seperti decakkan lidah. Entah sudah berapa banyak ekspresi baru dari dirinya yang Tenma lihat hari ini? Kalau dihitung-hitung, sepertinya menghitungnya dengan satu tangan saja tidaklah cukup.

“Setiap manusia akan menajdi aneh ketika mereka jatuh cintah. Kau sendiri pasti juga memiliki pengalaman seperti itu, kan?”

“Tidak.”

“Hah?! Apa-apaan dengan matamu yang tampak seperti mata ikan mati itu? Padahal kau memiliki rahasia suci dari seorang gadis di tanganmu, tapi kau tidak berniat untuk memberitahuku apa pun tentang dirimu?!”

“Bukannya begitu...”

Kali ini, cambukan lidah yang blak-blakkan. Nampaknya sikap setengah hati Tenma memberikan percikan baru pada amarah yang telah membara.

“Biar kuingatkan! Aku tidak melewatkan kata-katamu yang mengatakan, [aku akan melakukan apa pun yang bisa membuatmu jadi merasa lebih baik] loh?!”

“......”

Meskipun tadi dia tidak mau mendengerkan kata-kata Tenma, tapi sepertinya dia mengingat dengan sangat baik kata-kata yang nyaman untuknya.

“Aku akan mematuhi perintah apapun yang kau berikan padaku selama itu bisa menenangkan amarahmu, mau itu kau memintaku menjadi seperti anjing peliharaan, seperti budak, atau apa pun itu..., aku yakin itulah yang kau katakan padaku!”

“Aku gak ada bilang begitu bego’! Jangan mengada-ngada!”

“Loh intinya ‘kan mirip-mirip seperti itu? Lagian itulah arti dari melakukan apa saja. Dengar ya? Kalau sejak awal kau memang tidak tulus dan tak bisa menepati kata-katamu, maka jangan mengucapkan kalimat seperti itu dengan enteng!”

“Ya ‘kan aku juga gak bilang kalau aku gak akan menepati kata-kataku...”

Pada dasarnya, apa yang sebelumnya Tenma ucapkan itu terlontar karena dia benar-benar ingin membantu Rinka semampunya.

“Kalau begitu, beritahu aku nama orang yang kau sukai!”

“Hah?”

“Dan juga, biarkan aku memabca semua puisi dan frasa yang kau tulis tentang orang yang kau suka itu. Dengan begitu, aku akan merasa lebih baik.”

“Astaga, kau ini...”

“Semua hal yang barusan kukatakan itu kau mengetahui dan membacanya, kan?! Itu tidak adil, tau?!”

Cara berbicaranya seolah-olah mengatakan kalau sudah semestinya seseorang menulis puisi, dan dia juga mencoba mendapatkan kepuasan diri dengan membiarkan orang lain mengalami rasa sakit yang dia rasakan, sebuah pemikiran yang jauh dari perdamaian dunia. Yang jelas, di sini Tenma mesti mengatakan sesuatu.

“Aku tidak bisa memberitahukannya.”

“Tuh ‘kan? Pada akhirnya, kau memang tidak bisa menepati kata-katamu...”

“Aku tidak memiliknya.”

“Hah?”

“Sudah kubilang, aku tidak memiliki seseorang yang kusukai, jadi aku tidak bisa memberitahukannya padamu.”

“.........”

Mendengar kata-kata Tenma, Rinka menampilkan ekspresi bingung yang seolah-olah tidak mengerti apa yang Tenma katakan. Saat berikutnya, matanya melebar seolah dia menyadari sesuatu, dan kemudian, dia memasang ekspersi yang tampak merasa sangat kasihan.

“Erm..., maaf, ya? Sepertinya aku telah memukulmu di bagian yang sangat rapuh.”

“Woi, jangan menatapku seolah-olah aku adalah pria malang!”

Astaga, inilah sebabnya aku tidak suka berurusan dengan orang yang otaknya dipenuhi percintaan, pikir Tenma, merasa muak.

Orang-orang seperti itu umumnya yakin bahwa jatuh cinta adalah tanda kesehatan yang baik. Mereka dengan antusias mengatakan bahwa itu adalah kebahagian hidup yang sebenarnya, dan jika kau tidak dapat melakukan percakapan yang berhubungan dengan percintaan, mereka akan memperlakukanmu seolah-olah kau bukanlah manusia.

“Hanya karena tidak ada orang yang menyukaimu, tapi itu bukan berarti kau tidak boleh mencintai seseorang loh? Mencintai orang lain adalah hak yang Tuhan berikan kepada kita secara setara.”

“Widih, sok bijak banget lu..., hmh, eeh, gawat!”

Melihat ke arah jam dinding, Tenma sontak terkejut. Dia menyadari bahwa batas waktu istirahat sudah habis, dan waktu yang tersisa kurang dari satu menit sampai pelajaran selanjutnya dimulai. Kalau dia tidak buru-buru kembali ke kelas, dia akan dimarahi oleh guru.

Segera, dia membuka kunci pintu dan langsung membuka pintu. Dari belakangnya, terdengar suara yang tidak puas...,

“Tunggu, pembicaraan kita masih belum selesai.”

“Bacot. Konflik itu cuman terjadi diantara orang-orang dengan level yang sama!”

“Hah? Apa maksudmu...”

Dan dengan begitu, dia berlari keluar dari ruang audio-visual yang telah menjadi seperti tempat setengah magis. Untungya, dia tidak terlambat memasuki jam pelajaran kelima.

Beberapa anak laki-laki ingin tahu hukuman (atau mungkin hadiah) macam apa yang dia terima, sebagian karena mereka telah menyaksikan adegan dimana dia dibawa pergi secara paksa oleh Rinka. Tapi pada akhirnya, rasa ingin tahu mereka tidaklah bertahan lama.

Bagaimanapun juga, mereka adalah orang-orang dengan pemahaman bahwa itu tidaklah mungkin individu biasa-biasa saja seperti Tenma bisa bergaul dengan seorang bintang seperti Rinka. Karenanya, besok, Tenma yakin bahwa pemandangan sehari-hari akan direkonstruksi dan dunia akan benar-benar kembali normal. Lagian, itu adalah tatanan alam.

Dalam hal ini, siapa yang bisa menyalahkan Tenma karena begitu berpikiran positif dan merasa yakin?



8 Comments

Previous Post Next Post