[LN] Saijo no Osewa Volume 3 - Bab 3 Bagian 2

Bab 3 Bagian 2 (dari 2)
Sebagai Siswa Akademi Kekaisaran


Beberapa hari setelah aku mengenal Kita.

“Oh, Tomonari-kun.”

Waktu jeda setelah periode ketiga mapel, aku berpapasan dengan Kita di lorong, dan di sebelahnya kulihat ada seorang siswa yang tidak aku kenal.

“Dia orang yang sebelumnya kubilang, orang yang berada dalam situasi yang sama seperti kita dari kelas 2B.”

“Senang bertemu denganmu.”

Siswa berkacamata itu menyambutku dengan ramah, dan aku juga menundukkan kepalaku dan menyapanya, “Senang bertemu denganmu juga.”

“Hm? Mungkinah, Tomonari yang dimaksud itu... Tomonari yang rumornya dekat dengan Miyakojima-san itu?”

“Ya, Tomonari yang itu,” anggukku, tersenyum masam.

Dari cara siswa ini mengatakan ‘Miyakojima-san itu’, sepertinya dia tidak memiliki kesan yang baik tentang Narika.

Tapi kemudian, Kita menyelanya.

“Miyakojima-san tidak semenakutkan yang dikatakan rumor kok.”

“Eh? ......Tidak, tidak, tidak, kau bercanda, kan?”

“Aku serius. Baru-baru ini aku mengetahuinya dari Tomonari-kun, tapi sepertinya Miyakojima-san juga suka makan jajanan dan semacamnya.”

“...Seorang Miyakojima-san, makan jajanan?”

“Ya. Dan dia juga memiliki bagian dimana kita bisa mengandalkannya... Saat aku mengenal dia yang sebenarnya, dia tidak menakutkan dalam kehidupan sehari-harinya, malah dia justru keren dan luar biasa...,” ucap Kita, entah mengapa tampak agak terpesona.

Bagus, imejnya Narika semakin membaik.

Meskipun kupikir Kita sepertinya agak antusias dalam hal tersebut..., tapi itu lebih baik daripada dia memiliki imej yang buruk tentang Narika.

Sedangkan untukku, hubungan sosialku berkembang.

“Kudengar kau sedang bertujuan untuk memperoleh sertifikat Teknisi Informasi Dasar, ya, Tomonari?”

“Ya, meskipun aku masih belum memutuskan kapan aku akan mengikuti ujiannya...”

“Begitu ya. Aku berencana memulai bisnisku sendiri di masa depan, jadi jika ada sesuatu yang ingin kau ketahui tentang bisnis, jangan sungkan untuk bertanya padaku,” ucap siswa tersebut, sambil tersenyum ramah.

Memulai bisnis sendiri, ya...? Itu tujuan yang besar, tapi mungkin realistis untuk seorang siswa dari Akademi Kekaisaran. Siswa ini tampaknya juga berasal dari keluarga yang memiliki perusahaan IT, tapi dia sepertinya tipe yang berbeda dari Kita.

Saat aku berpisah dengan Kita dan siswa itu dan memasuki kelas, aku melihat ke arah Hinako. Dia sedang dikelilingi oleh beberapa siswa dan menanggapi percakapan dengan senyuman yang anggun.

Siswa-siswi di sekitar Hinako semuanya adalah pria tampan dan wanita cantik, dan mereka memiliki martabat yang membedakan mereka dari siswa-siswi lain. Hanya dengan melihat mereka dari kejauhan pun, aku bisa tahu bahwa bahkan diantara siswa-siswi di akademi ini, mereka tergolong luar biasa.

Kupikir... Sudah waktunya aku juga ikut nimbrung di sekitar mereka.

Merasa gugup, aku menelan ludahku.

Ini rasanya sudah seperti ketika akan bertarung melawan bos terakhir.

Tapi, aku tidak boleh mundur.

Aku tidak boleh hanya memiliki keinginan untuk menjalani kehidupan tenang nan damai di akademi ini.

Untuk bisa berdiri di samping Hinako..., aku perlu dikenali oleh orang-orang yang saat ini berdiri di samping Hinako.

Sekali lagi, aku harus menyadari fakta bahwa Akademi Kekaisaran ini bukanlah sekolah biasa. Jika itu SMA-ku sebelumnya, orang-orang yang berada di kasta tinggi sekolah adalah mereka yang tampan atau cantik, jago olahraga, atau yang merupakan mood maker kelas. Namun, Akademi Kekaisaran ini berbeda. Kasta di akademi ini dipengaruhi oleh latar belakang keluarga dan martabat orang itu sendiri.

Aku tidak bisa berbuat apa-apa tentang keluargaku, dan martabat bukanlah sesuatu yang bisa diperoleh hanya dalam semalam.

Ini artinya, aku tidak perlu bertindak dengan cara yang aneh. Aku tidak perlu untuk berpikiran terlalu berlebihan. Apa yang perlu aku lakukan hanyalah membuat keberadaanku diketahui oleh mereka.

“Konohana-san.”

“Hm?”

Saat aku memanggil Hinako, suara aneh terdengar dari mulutnya.

Barusan, kepribadian asilnya keluar untuk sesaat...

Sontak saja, siswa-siswi di sekitar tampak bingung dan bertanya-tanya, “Apa barusan kita salah dengar?”, tapi sebelum hal-hal menjadi buruk, aku segera menyela.

“Teh yang kau rekomendasikan tempo hari sangat enak. Makasih ya.”

Saat aku mengatakan itu, Hinako segera menanggapiku dalam mode selayaknya seorang Ojou-sama.

“Senang mendengarnya. Jika aku punya rekomendasi lain lagi, aku akan memberitahukannya kepadamu,” ucap Hinako, dengan senyum penuh keanggunan yang memikat semua orang yang melihatnya.

Di sisi lain, teman-teman sekelas di sekitar tampak terkejut pada percakapan antara aku dan Hinako.

“Kau Tomonari-kun, kan? Apa kau dekat dengan Konohana-san?” tanya salah satu teman sekelasku yang ada di sekitar Hinako.

Naisu, datang juga pertanyaan ini......

Ini adalah momen di mana aku melakukan kontak dengan orang-orang kasta teratas di akademi ini. Jika memungkinkan, aku tidak ingin melewatkan kesempatan ini.

“Ya. Erm...”

Aku agak buntu untuk menjawab.

Soalnya, saking kuatnya keinginanku untuk tidak gagal, aku justru menjadi gugup.

Tenang... Ingatlah kepercayaan diri yang sudah Tennoji-san ajarkan kepadamu.

Aku teringat penampilan elegan yang Tennoji-san ajarkan kepadaku. Itu telah ditanamkan ke dalam diriku dengan melalui pelatihan spartan. Di saat-saat menegangkan seperti inilah, teknik yang telah meresap ke dalam tubuhku itu akan aku demonstrasikan.

Sedikit demi sedikit, kegugupanku mereda, dan setenang mungkin aku mulai menjawab.

“...Keluargaku berhubungan dengan perusahaan keluarganya Konohana-san. Karena hubungan itu,  aku sudah berhubungan dengan Konohana-san sejak lama.”

“Yah, begitulah.”

Siswi di depanku tampak membelalak ringan.

“Maaf ya, aku belum memperkenalkan diriku sejauh ini.”

“Tidak apa-apa, kami juga minta maaf karena tidak bertanya-tanya tentang itu meskipun kita satu kelas.”

Pertukaran permintaan maaf yang dianggap berlebihan di sekolah pada umumnya merupakan hal yang normal di akademi ini, tapi..., kurasa ini bukanlah perasaan yang buruk,

Nah, entah apakah karena itu hal yang bagus bahwa aku mengklarifikasi hubunganku dengan Hinako, setidaknya sekarang tidak ada lagi sorot mata yang tampak merasa bingung yang di arahkan kepadaku. Sisanya hanya tergantung pada sikap yang kutunjukkan.

“Ngomong-ngomong, kami baru saja membicarakan tentang pesta teh, jadi jika kau tidak keberatan, boleh aku tanya jenis daun teh apa yang kau rekomendasikan, Tomonari-kun?”

“Untukku sih...”

Kurasa ini masih terlalu awal kalau aku akan diajak ikut ke pesta teh, ya? Yah, meskipun aku hanya akan gelisah sih jika sekarang aku diajak oleh mereka.

Saat aku memberitahukan beberapa daun teh favoritku, siswa yang bertanya mengucapkan rasa terima kasihnya dengan suara yang pelan.

“Tapi ngomong-ngomong, kau orangnya sangat kalem ya, Tomonari-kun.”

“Begitukah?”

“Ya. Setelah berbicara denganmu, aku mendapatkan kesan yang berbeda darimu.”

Jika ingin memasukkan hunor, aku bisa bertanya, “Memangnya, apa kesanmu terhadapku sejauh ini?”, tapi ini adalah Akademi Kekaisaran. Karenanya, sekalem mungkin aku menundukkan kepalaku.

“Terima kasih. Akhir-akhir aku ini menghadiri banyak pertemuan sosial, jadi aku masih sementara dalam proses mempelejari etiket.”

Mendengar ucapanaku, para siswa menunjukkan ekspresi terkesan.

Tentunya, aku tidak mengatakakan kebohongan. Toh baru-baru ini aku mempelajari etiket dari Tennoji-san.

“Aku masih banyak belajar, tapi kuharap aku bisa bekerja sama dengan kalian di masa depan.”

Dengan mengatakan itu, aku pergi dari sekitar Hinako.

Setelah itu, periode keempat pelajaran dimulai.

Saat pelajaran selesai dan sudah waktunya jam istirahat makan siang, aku menuju ke aula siswa lama.

Saat aku membuka pintu ke yang menuju ke atap, aku bisa melihat Hinako sudah ada di sana.

“...Itsuki.”

“...Hinako.”

Kami saling memandang, dan kemudian——

“YAY...”

“YAY.”

Kami melakukan tos.

“...Apa yang tadi sudah bagus?”

“...Ya, kau benar-benar membantuku.”

Sebenarnya, percakapan yang terjadi saat waktu jeda tadi..., merupakan percakapan yang aku dan Hinako telah memutuskan isinya sebelumnya.

Orang-orang yang berpikir bahwa aku menjilat Hinako, Tennoji-san dan yang lainnya adalah orang-orang yang tidak memiliki keterlibatan dengan mereka. Lagipula, orang-orang seperti itu memiliki pemikiran bahwa baik itu Hinako atau Tennoji-san merupakan sosok bagaikan tuan putri di atas bulan.

Namun, di Akademi Kekaisaran ini ada beberapa siswa-siswi yang berani berbicara denga Hinako dan yang lainnnya tanpa ragu-ragu sampai batas tertentu, yaitu mereka yang merupakan orang-orang kasta atas di akademi ini. Karena mereka yang berada di kasta atas akademi ini pun juga mencoba untuk bergaul dengan Hinako, jadi mereka tidak akan melihatku sebagai seorang penjilat hanya karena aku juga mencoba bergaul dengan Hinako.

Dengan demikian—seharusnya tidak masalah bagiku untuk mengandalkan bantuan Hinako. Sebelumnya Hinako pernah bilang padaku bahwa dia ingin membantuku, itu sebabnya aku meminta bantuannya.

Aku hanya memiliki satu kesaamaan dengan mereka yang berada di kasta atas kelas kami.

Itu adalah hubungan Hinako.

Karenanya, aku memutuskan untuk berinteraksi dengan orang-orang kasta atas itu dengan melalui Hinako... Dalam artian lain, aku tidak memiliki kesamaan lain dengan mereka selain hubungnaku Hinako. Jadi tanpa Hinako, sejak awal aku tidak akan bisa menemukan kesempatan untuk berbicara dengan mereka.

Respon yang kudapatkan pun positif. Aku bisa saja sih melanjutkan percakapan lebih panjang tadi, tapi aku tidak mau terlalu banyak bicara dan menciptakan perasaan terlalu terbawa suasana, jadi kupikir bukan ide yang buruk bagiku untuk pergi pada saat itu.

Hanya saja, di mata pihak ketiga itu mungkin akan terlihat seperti aku sedang menjilat lagi...

Ini artinya, mengatasi masalah yang timbul karena itu adalah suatu keharusan.

Setelah ini, aku perlu untuk berinteraksi dengan Kita lagi dan membicarakan hal-hal apa saja.

“Tapi, karena tadi aku tidak tahu kapan kau akan datang..., jadi sesaat sifat asliku keluar,” ucap Hinako, dengan nada meminta maaf.

Memang sih, sebelumnya kami sudah mendiskusikan apa yang akan kami bicarakan, tapi saat aku memanggilnya, Hinako tampak sedikit terkejut.

“Apa sebaiknya aku jangan terlalu banyak berbicara denganmu di depan publik?”

Sepertinya, Hinako akan lengah ketika aku berbicara dengannya di depan publik.

Saat aku memikirkan hal tersebut, Hinako menggelengkan kepalanya.

“Sekalipun aku sedang berakting..., aku senang saat berbicara denganmu, Itsuki.”

“...Beigtu ya.” Aku lega mendengar tanggapannya tersebut. “Kalau kau senang, maka semua kerja kerasku itu sepadan dengan hasilnya.”

Saat ini kami mungkin ngobrol-ngobrol di depan publik dengan melalui perencanaan..., tapi kedepannya, aku ingin bisa mengajaknya ngobrol di depan publik secara alami.

Setelah menikmati makan siang yang mewah dan bersantai sebentar, kami meninggalkan atap.

“Itsuki!”

Dalam perjalanan kembali ke kelas, kami didekati oleh Narika.

“Ada apa, Narika?”

“Dengar! Ka-Kau tahu, tadi, aku didekati oleh teman sekelasku!”

Aku dan Hinako sontak saling berpandangan.

“Kupikir, dia adalah teman dari siswa yang bersama denganmu sepulang sekolah kemarin!”

Oh, maksudnya siswa yang bilang kalau dia akan memulai bisnis sendiri itu.

Dia masih tampak mewaspadai Narika saat kami pertama kali berbicara sebelumnya, tapi sepertinya Kita telah meluruskan kesalahpahaman yang siswa itu miliki.

“Aku ikut senang untukmu.”

“Ya, aku benar-benar senang...! Aku bisa merasa kehangatan orang lain...!”

Narika sangat tersentuh sampai-sampai dia meneteskan air mata di sudut matanya.

“Kalian berdua, tolong izinkan aku membalas budi pada kalian lagi di hari libur berikutnya!”

Itu sungguh membantu, bagaimanapun juga, aku juga ingin segera berlatih tenis lagi.

Melihat Narika yang berada dalam suasana hati yang baik ikut membuatku senang, dan dengan suasana hati yang memuaskan, aku kembali ke kelasku.

---

Malam harinya.

Meskipun hatiku merasa puas..., masih ada banyak hal yang harus kurenungkan.

Setelah menyelesaikan semua pekerjaanku di mansion dan belajar, aku merenungkan kembali apa yang terjadi hari ini.

Sehubungan dengan masalahnya Narika, untuk saat ini kami mendapatkan beberapa hasil...

Kalaupun ada yang perlu untuk dikhawatirkan, maka itu adalah kami tidak tahu apakah masalahnya bisa selesai sebelum dimulainya porseni atau tidak.

Kalau hanya tentang untuk menjalin pertemenan, respon yang diperoleh saat ini tampaknya menunjukkan bahwa Narika akan bisa melakukan itu seiring berjalannya waktu. Namun, waktu yang tersisa sampai diadakannya porseni hanya tersisa satu minggu lagi. Keinginan Narika untuk menghilangkan trauma masa lalu dan berpartisipasi dalam porseni dengan persiapan penuh masih belum terpenuhi.

Terlepas dari itu, kami harus terus melakukan apa yang bisa kami lakukan. Mungkin akan cukup merepotkan untuk melakukam hal-hal baru satu demi satu, jadi akan lebih baik untuk mengambil sikap sadar bahwa kami mesti mempertahankan arus saat ini.

Sedangkan untukku..., aku tidak tahu...

Dengan berpusat pada Kita, jumlah kenalanku telah meningkat. Terlebih lagi, hari ini aku bahkan melakukan percakapan dengan siswa-siswi kasta atas di akademi yang sebelumnya aku coba jaga jarak dari mereka.

Terus terang, kupikir impresinya tidak begitu buruk, tapi——

Ini tidak seperti aku ingin mendaki kasta sekolah...

Kurasa ini adalah sifat bawaanku. Lagian, aku masih lebih suka dengan lingkungan yang agak kacau dan santai daripada lingkungan yang berkilauan. Tentunya secara bertahap aku mulai beradaptasi dengan lingkungan seperti itu melalui studi harianku, tapi jika menyangkut preferensi, itu lain cerita lagi... Dan itu mungkin sama halnya untuk Hinako.

Satu-satunya cara untuk bisa berdiri di samping Hinako adalah bergaul dengan orang-orang yang juga memiliki kasta tinggi di akademi. Namun, mencoba bergaul dengan mereka yang berkasta tinggi di akademi mungkin akan tampak seperti aku sedang menijlat dari sudut pandang mereka yang kastanya rendah.

Ini masalah yang sulit.

Dan kalau pun aku mencoba untuk bergaul dengan semua orang, itu justru akan membuatku terlihat seperti kupu-kupu sosial.

...Aku tidak pernah mengalami masalah seperti ini di sekolahku sebelumnya.

Kupikir di SMA-ku sebelumnya ada kasta sekolahnya juga, tapi saat itu aku acuh tak acuh dengan hal itu.

Lantas mengapa saat ini aku dibuat pusing dengan hubungan sosialku?

Untungnya, sejauh ini hal-hal berjalan dengan baik. Namun, aku masih akan gugup ketika berbicara dengan orang yang tidak kukenal, dan ketika aku berbaring di ranjang untuk tidur, aku mendapati diriku berpikir, “Harusnya aku melakukan itu pada waktu itu,” ...Sejujurnya, mentalku benar-benar lelah. Dan karena aku tahu itu melelahkan, makanya aku tidak menggumuli hal seperti ini di SMA-ku sebelumnya. Tapi sat ini, mengapa aku begitu menggumuli masalah ini?

Kupikir, salah satu alasanku melakukan itu adalah karena aku ingin membantu Narika mencari teman, dan alasan lainnya adalah—Hinako.

[Itsuki..., selain aku, aku tidak mau kau mengurus orang lain...]

Aku teringat apa yang Hinako katakan padaku setelah kami selesai berlatih tenis tempo hari. Kata-kata yang dia ucapkan dengan wajah yang tampai damai itu masih terukir jelas di telingaku.

Aku ingin tahu..., apa yang aku pikirkan tentang Hinako?

Tanpa bisa mendapatkan jawaban atas pertanyaan itu, waktu berlalu beberapa menit.

Dan pada saat itu, terdengar suara ketukan di pintu kamarku.

“...Itsuki.”

“Hinako?”

Orang yang datang memasuki kamarku adalah Hinako.

Dia tampak mengantuk, dan dia segera berbaring di ranjangku.

Di sisi lain pintu, aku bisa melihat Shizune-san yang hanya membungkuk dalam diam ke arahku dan kembali menutup pintu kamarku.

“Ada perlu apa, Hinako?”

“Gak ada apa-apa...”

Sepertinya dia tidak punya keperluan apa-apa datang ke sini.

Dengan kata lain, ini sama seperti biasanya.

“Kau sementara belajar..., Itsuki?”

“Yah, begitulah...”

Karena tadi aku sementara belajar untuk ujian Teknisi Informasi Dasar, jadi aku membiarkan buku catatanku tetap terbuka. Itulah sebabnya mengapa sekarang aku terlihat seperti sementara belajar. Kenyataannya sih, aku sedang pusing memikirkan hubungan sosialku.

Tapi, entah apakah karena di akhir-akhir tadi aku sempat memikirkan tentang Hinako..., meski agak sulit untukku mengungkapkannya dengan kata-kata yang baik, tapi saat ini aku merasa ingin ngobrol-ngobrol dengan Hinako.

“...Kebetulan aku mau istirahat. Ayo bicarakan sesuatu.”

Dengan singkat, Hinako menjawabku, “Mm.”

Sepertinya, dia tidak datang ke kamarku untuk tidur.

Dan begitulah, untuk sementara, kami dengan santai ngobrol-ngobrol tentang hal-hal yang terjadi di akademi, tentang hal-hal yang terjadi di mansion, tentang rencana Narika untuk menyingkirkan kesendiriannya, dll.

“Kalau dipikir-pikir, akhir-akhir kau tidak jatuh sakit ya, Hinako.”

“...Maksudmu kelelahan karena akting?”

“Ya,” ucapku, sambil mengangguk.

“Soalnya kalau ada kamu, aku merasa bisa melaluinya dengan mudah.”

“Begitukah?”

“Mm.... Bahkan momen-momen seperti ini pun juga menyenangkan bagiku.”

Sampai saat ini, Hinako sering demam karena lelah berakting sebagai Ojou-sama yang sempurna. Tapi, sepertinya frekuensi dia jatuh sakit telah menurun tajam sejak aku menjadi pengurusnya. Jika itu adalah demam psikogenik, maka masuk akal jika kurangnya stres akan mengurangi frekuensinya.

Sepertinya, bagi Hinako aku adalah sosok yang bisa mengurangi stresnya. Aku senang.

Huaaaaah~...

Hinako menguap.

“Kalau kamu ngantuk, aku akan mengantarmu ke kamarmu.”

“Kamu belum ngantuk, Itsuki...?”

“Tidak, aku juga ngantuk.”

Aku mencoba meregangkan punggungku dengan ringan, tapi rasa kantukku tidak hilang. Saat aku juga menguap ringan, Hinako yang berbaring di ranjangku menepuk-nepuk ruang yang kosong di sampingnya.

“Sekali-sekali..., yuk tidur bareng?”

Hadeeh, dia ini bikin stres aja.

“Tidak, aku menolak,” ucapku, sambil menatap Hinako.

“Muu~...”

Tensu aja saja aku akan menolaknya, toh aku takut nanti itu-ku akan dipotong oleh Shizune-san.

Namun demikian, sambil mengembungkan pipinya, Hinako berdiri dan menghampiriku.

“Ayo ke sini...”

“Tidak, tidak, tidak, itu gak boleh...”

Hinako menarik tanganku dan menuju ranjang.

Tangan yang menarikku itu begitu ramping, dan entah mengapa aku seolah-olah akan merasakan perasaan bersalah jika melepaskan tanganya ini, jadi aku membiarkan diriku dibawanya ke dekat ranjang.

Kemudian, sambil masih memegang tanganku, Hinako berbaring di ranjang, lalu dia menarik tanganku dengan kuat.

“Whoa?!”

Karena tidak menduga bahwa aku akan ditarik begitu kuat secara tiba-tiba, jadi aku yang terjatuh segera mengambil posisi merangkak di tempat tidur.

Namun, setelah bingung sesaat, aku segera menyadari sesuatu.

Saat ini, aku berada dalam posisi dimana aku menindih Hinako.

“...Nnh?!”

Hinako mengeluarkan suara yang aneh, membuatku merasa seperti aku terjebak dalam ilusi di mana waktu telah berhenti.

Sampai saat ini, ada banyak waktu di mana aku dibuat bingung dengan jarak antara aku dan Hinako. Seperti saat ketika aku memberikannya bantal pangkuan di atap sekolah, atau ketika aku meminjamkan bahuku padanya di mobil, yang jelas momen ketika kulit kami bersentuhan.

Namun, saat ini instingku mengerti bahwa yang kali ini tidak sama seperti sebelumya.

Napas hangat Hinako meniup poniku.

Aku mengendurkan sedikit kekuatan lenganku yang menopang tubuhku, membuat jarak antara aku dan Hinako menjadi satu sentimeter lebih dekat.

Panik, aku mencoba untuk buru-buru pergi..., tapi aku berhenti. Sebelum pergi, ada sesuatu yang sangat ingin aku tanyakan pada Hinako.

“...Hinako.” Kepada Hinako yang matanya terbuka lebar, aku bertanya, “Hinako..., apa yang kau pikirkan tentangku?”

Aku yang tercermin di bola matanya tampak memiliki ekspresi yang sangat serius, dan melihat itu membuatku merasa ingin menertawai diriku sendiri.

Mungkin aku telah mengajukan pertanyaan yang tidak seharusnya kutanyakan padanya, namun kata-kata yang telah aku ucapkan tidak bisa aku tarik kembali.

Dalam diam, aku menunggu jawaban Hinako.

“Aku...” Hinako menggerakkan bibirnya perlahan. “Aku..., su...”

“Su?”

Aku penasaran dengan lanjutan dari perkataannya, tapi Hinako justru menutup kelopak matanya bersamaan dengan bibirnya.

“Suk...”

“Lah, tidur?!”

Ini tidak masuk akal.

Dia tertidur di timing seperti ini?

Tapi, mengingat ini adalah Hinako, maka itu mungkin-mungkin saja. Bagaimanapun juga, aku tahu kalau gadis ini bisa tertidur dalam keadaan apapun.

Pada akhirnya, karena terkejut dia tiba-tiba terdiur, suasana hatiku yang aneh jadi berhamburan. Tapi dalam artian tertentu, keterkejutan ini mungkin membantuku.

Saat aku melihat wajah Hinako yang tertidur lelap, aku jadi merasa tenang.

......Yah, untuk saat ini, ada satu hal pasti yang aku ketahui.

Setidaknya, aku tahu bagaimana perasaanku.

“Hinako.”

Tak ada jawaban.

Jika demikian, ini mungkin tidak lebih dari pernyataan kepuasan diriku semata, tapi—untuk bisa meluruskan perasaanku, dengan berani aku mengatakannya.

“Aku... Aku akan berjuang agar bisa menjadi orang yang layak untukmu, Hinako.”

Kendati harus berada di sisinnya, aku ingin berada di sisinya. Sekarang dengan jelas aku menyadari hal tersebut.

Dengan lembut, aku memakaikan selimut ke atas Hinako supaya tidak membangunkannya.

Ini sudah waktunya bagiku untuk membawanya ke kamarnya, tapi..., aku memutuskan untuk membiarkan dia tetap tidur di sini sebentar lagi.

---

Untuk pertama kalinya, Hinako memiliki pemikiran bahwa dia senang bahwa dia telah berakting secara teratur. Karena pada kenyataannya, Hinako yang saat ini berpura-pura tidur sedang berjuang mati-matian untuk bisa terlihat tenang.

Sedikit demi sedikit, dia menggulingkan tubuhnya ke samping seperti sedang membalikkan badan agar Itsuki tidak bisa melihat wajahnya.

Dia tidak bisa menahannya lagi.

Wajahnya panas.

Jantungnya berdetak kencang.

Tidak peduli seberapa keras dia mencoba untuk mempertahakan sikap tenangnya, dia tidak bisa menghentikan perubahan ekspresinya.

[Aku... Aku akan berjuang agar bisa menjadi orang yang layak untukmu, Hinako.]

Kata-kata yang Itsuki ucapkan terus terngiang-ngiang di kepalanya.

Dan setiap kali kata-kata itu terngiang, dia merasa seperti didorong oleh gairah yang tak tertahankan.

Aneh... Saat ini... Aku benar-benar aneh...

Kebingungannya tidak berhenti.

Dalam benaknya, Hinako berteriak,

Apa ini... Apa, ini...? Keanehan ini..., aku tidak bisa mengendalikannnya...!

Dia merasa ingin mengamuk, pokoknya, dia merasa ingin melakukan sesuatu.

Jika dia tidak melakukan sesuatu, dia merasa kalau tubuhnya mungkin akan meledak.

Karenanya, mati-matian Hinako mencoba untuk bertahan sambil mencengkeram ranjang dengan kuat.

Saat dia mencoba membuka sedikit matanya, dia melihat Itsuki sedang belajar dengan memnunggunginya.

Melihat punggung itu, Hinako merasakan gairah yang tak tertahankan untuk menyentuhnya.

Tapi, dia menahannya.

Dia punya firasat bahwa jika dia mendekati Itsuki sekarang, dia akan berhenti menjadi dirinya sendiri.

Aku...

Dia teringat pertanyaan Itsuki sebelumnya.

Aku... Apa yang aku pikirkan tentang Itsuki...?

Seorang pengurus yang penting.

Seorang teman yang dia merasa senang saat bersamanya.

Sampai saat ini, itulah apa yang Hinako pikirkan tentang Itsuki, dan dia seharusnya menyampaikan perasaan itu dengan benar, tapi... apakah itu yang benar-benar dia pikrikan tentangnya? Apakah ini benar-benar persoalan yang dapat dia selesaikan dengan jawaban yang begitu sederhana seperti itu?

Dia masih belum menemukan jawaban yang tepat.

Sampai Itsuki kembali memanggilnya, Hinako terus tenggelam memikrikan soal itu.



6 Comments

  1. Yg satu sudah sadar, yg satu belum paham rasa apa itu :v

    ReplyDelete
  2. Rasa ini yang tertinggal
    Selamanya memberikan luka pada hatiku
    Jangan kau biarkan diriku menderita selalu.
    Walau kau tak pernah mengerti
    Akan arti cinta ini di hatiku

    ReplyDelete
Previous Post Next Post