[LN] Saijo no Osewa Volume 3 - Bab 4 Bagian 1

Bab 4 Bagian 1 (dari 5)
Porseni


Masih ada lima hari tersisa sampai dimulainya porseni.

Namun karena saking padatnya kegiatanku beberapa hari terakhir ini, ingatanku tentang itu jadi samar-samar. Tentunya aku masih melakukan pekerjaanku sebagai pengurus seperti biasanya, dan selain itu, aku juga berlatih tenis dan terus berusaha meningkatkan hubungan sosialku. Itu sebabnya, saat tidur, aku sering tertidur seperti kayu.

Semua itu adalah kegiatan yang cukup sulit, tapi itu membuatku merasa senang begitu aku melihat hasilnya. Karenanya, hari ini juga, aku menuju ke akademi dengan sikap positif.

“Oh, ngomong-ngomong, Hinako.” Aku memanggil Hinako yang tampak mengantuk di sampingku. “Suminoe-san ingin mengundangmu ke pesta teh.”

“Hmm... Aku lelah karena berlatih untuk porseni, jadi jika memungkinkan aku ingin menolaknya...”

“Baiklah. Kalau gitu nanti biar aku yang memberitahukannya dengan kasual. Sebelumnya kau juga sempat menolak undangannya ke pesta teh, jadi pasti akan canggung kalau kau menolaknya berturut-turut, kan?”

“Mm... Terima kasih.”

Setelah mengkonfirmasi niatnya Hinako, aku mencatatnya di buku catatanku. Karena akhir-akhir ini aku memiliki banyak hal untuk dipikirkan, makanya aku selalu membawa buku catatan seperti ini.

“...Kalian sudah seperti pemimpin dan sekretaris saja.”

Hm? Rasanya aku mendengar Shizune-san mengatakan sesuatu dengan pelan dari kursi asisten.

“Apa kau ada mengatakan sesuatu?”

“Tidak, aku hanya memikirkan masa depan Grup Konohana.”

Sebagai kepala pelayan wanita, dia sepertinya begitu serius memikirkan tentang masa depan Grup Konohana. Nah, meskipun kami bekerja di lingkungan yang sama, tapi Shizune-san memiliki tanggung jawab yang berkali-kali lipat lebih banyak daripada aku. Aku ingin tahu, apakah akan ada hari ketika aku bisa membalas budi pada Shizune-san?

Saat aku memikirkan sesuatu seperti itu, aku melihat ada sedikit debu di rambut Hinako.

“Hinako, ada debu di rambutmu...,” ucapku, sambil dengan ringan menyentuh rambut Hinako.

“Nnh...?!”

Tidak seperti biasanya, Hinako tampak sangat terkejut sampai-sampai bahunya terangkat.

“Ja...”

“Ja?”

“Jangan ngagetin...,” ucap Hinako, sambil menundukkan kepalanya.

Kemudian dia mengatakan padaku bahwa dia sudah tak terkejut lagi, jadi sepertinya aku sudah boleh menyentuh rambutnya.

Saat aku membersihkan debu dari rambutnya, kuperhatikan wajah Hinako menjadi merah sampai ke telinganya dan memiliki banyak simbol “?” yang melayang-layang di atas kepalanya. Itu tampak seolah-olah dia tidak bisa memahami emosinya sendiri.

Melihat Hinako yang seperti itu, aku hanya bisa memiringkan kepalaku.

Apa-apaan dengan suasana ini?

Suasana yang aneh dan sulit dijelaskan ini......

“...Ini benar-benar merepotkan ketika kalian berdua sama-sama tidak peka.”

Kurasa Shizune-san sedang menggumamkan sesuatu sambil menghela napas.

“Apa kau ada mengatakan sesuatu?”

“Tidak, aku hanya memikirkan skandal Grup Konohana.”

“Eh?”

Mungkinkah, Grup Konohana sedang berada dalam situasi yang cukup berbahaya...?

“Ngomong-ngomong, Itsuki-san,” ucap Shizune-san, sambil melihat wajahku di kaca spion. “Mengenai usulanku sebelumnya tentang di masa depan nanti kau bekerja di perusahaan IT..., aku sudah mengurusnya.”

“Mengurusnya...?”

Shizune-san menoleh ke arahku dan memberiku kartu nama. Di kartu nama tersebut, tercantum nama karyawan perusahaan yang tampaknya bekerja di Departemen SDM.

“Setelah lulus dari akademi, kalau kamu mau, perusahaan ini akan mempekerjakanmu. Kudengar juga bahwa tidak masalah meskipun kau tidak lulus dari universitas.”

“Eh...?”

Apa ini artinya..., apa yang terakhir kali kami bicarakan menjadi kenyataan?

“Tapi bukankah itu hanya sekadar pengandaian saja...?”

“Kau akan lebih termotivasi jika itu menjadi kenyataan.”

Dia benar sih, tapi... Aku tidak menyangka kalau dia akan melakukan sejauh ini hanya untukku.

“Perusahaan ini... Aku pernah melihat perusahaan ini di iklan.”

“Itu adalah perusahaan yang berfokus mengembangkan perangkat lunak keamanan untuk kantor. Beberapa tahun terakhir omset perusahaan itu terus meningkat, dan tingkat perputaran karyawannya pun juga rendah.”

Tampaknya, itu termasuk dalam kategori yang disebut perusahaan putih.

[Catatan Penerjemah: Perusahaan putih ini mengacu pada perusahaan dengan kondisi kerja yang baik, termasuk lingkungan fisik dan budaya kerja.]

“Tapi yah, secara pribadi sih, kupikir akan lebih baik jika kau menunda untuk mengejar karir seperti itu dulu.”

“Loh?”

“Soalnya kalau misalnya kau meningkatkan keterampilanmu lebih jauh, kami mungkin dapat menyiapkanmu posisi yang lebih baik daripada di perusahaan itu.”

Pemikiran seperti itu sama sekali tak terlintas di benakku. Lagian, yang barusan saja ditawarkan sudah merupakan karir yang mengesankan, jadi mana bisa aku memikirkan apa pun di atas karir seperti itu.

“...Rasanya sudah seperti aku sedang mencari pekerjaan saja, ya.”

“Yah, begitulah. Toh kedepannya kupikir tidak ada salahnya bagimu untuk bekerja dengan kesadaran seperti itu. Misalnya, jika kau dapat menangani pekerjaan dimana kau harus berada di depan publik, kau akan cocok untuk posisi asisten karena dengan begitu kau akan bisa menindaklanjuti area kelemahannya Ojou-sama......”

“...? Area kelemahannya Hinako...?”

“......Maaf, mulutku sedikit kebablasan.”

Dengan ringan Shizune-san menutupi mulutnya menggunakan telapak tangannya, sementara mobil terus menuju ke akademi dengan tenang.

Kalau diriku yang dulu melihat diriku yang sekarang, pasti diriku yang dulu akan sangat terkejut......

Lagipula, sebelum aku menjadi pengurus, dulunya aku adalah siswa SMA biasa yang berjuang keras hanya untuk bisa lulus sekolah. Tentunya jika memungkinkan aku ingin masuk universitas, tapi karena aku tahu itu akan sulit, aku berpikir untuk langsung mencari kerja setelah aku lulus SMA. Itu sebabnya, aku sangat mengerti betapa berharganya kartu nama yang baru saja kudapatkan ini. Terlebih lagi, tergantung pada kerja kerasku, kudengar bahwa aku akan bisa menempuh karir yang jauh lebih baik lagi.

Apa sungguh tidak apa-apa jika aku mendapatkan berkat seperti ini?

Itu membuatku bingung, tapi mungkin karena mengetahui kondisi pikiranku, Shizune-san berkata,

“Untuk itu, aku menaruh harapan yang tinggi kepadamu.”

“...Terima kasih.”

Aku mengukir kata-kata Shizune-san dengan kuat di benakku.

---

Setelah periode kedua pelajaran.

Di waktu jeda, saat aku berjalan menyusuri lorong untuk merilekskan tubuhku, aku mendengar pembicaraan beberapa siswa.

“Akhir-akhir ini imejnya Miyakojima-san sedikit berubah, ya,” ucap seorang siswa dari kelas 2B dengan suara yang pelan. “Dia lebih lembut daripada yang kupikirkan...”

“Ya. Mungkin saja sebenarnya dia tidak semenakutkan kelihatannya...”

Setelah mendengar sedikit apa yang mereka bicarakan, aku segera pergi. Soalnya, jika aku terus mendengar apa yang mereka bicarakan, aku merasa seperti aku akan menampilkan senyuman aneh di wajahku.

“Itsuki!”

Dari belakang, kudengar suara yang terdengar ceria memanggil namaku.

Saat aku berbalik, kulihat ada seorang gadis berambut hitam.

“Narika... Kelihatannya suasana hatimu sedang baik.”

“Ya! Soalnya hari ini juga aku diajak bicara oleh teman sekelasku!”

Sambil tersenyum lebar, Narika datang mendekatiku.

Penampilannya itu entah mengapa membuat dia tampak seperti seekor anjing yang merindukan pemiliknya, tapi..., tentunya, tidak mungkin aku akan mengatakan itu kepadanya.

“Fufufu... Sekarang setelah aku merasakan kehangatan dari orang-orang, aku sudah menjadi tak terkalahkan!” Ucap Narika, tampak percaya diri.

Sepertinya, dia sedikit terbawa suasana.

Memang sih, akhir-akhir ini hal-hal tampaknya berjalan dengan baik untuknya, tapi pada kenyataannya, dia masih hanya dikenali oleh sejumlah kecil siswa di kelas 2B.

“Kalau begitu, sekarang kamu harus mencoba mengambil inisatif untuk berbicara dengan orang lain.”

“E-Eh? T-Tidak, aku masih belum siap kalau aku yang mengambil inisiatif...”

Seketika, Narika tampak cemas.

Tentunya aku mengatakan itu tidak dengan maksud menghancurkan kebahagiannya; tapi aku benar-benar ingin agar dia mencoba melakukan itu.

“Sekarang imej yang kau miliki menjadi sedikit lebih baik, jadi mungkin sekarang kau akan berhasil.”

“...Ka-Kau ada benarnya. Baiklah, aku akan melakukannya!”

Entah mengapa, rasanya dia akan gagal lagi...

Dengan ekspresi gugup dan raut wajah yang tegang—Narika memanggil seorang siswa yang lewat.

“He-Hei, kau yang di sana.”

“Hiiiii!”

Saat dipanggil, siswa itu terkejut dan segera pergi.

“Mengapa......”

Depresi, Narika menempelkan dahinya ke dinding.

“Narika, apa siswa yang barusan itu teman sekelasmu?”

“...Tidak, harusnya sih tidak.”

Karena siswa itu juga tidak sekelas denganku, jadi dia bukan berasal dari kelas 2A ataupun 2B. Ini artinya, perubahaan imejnya Narika masih belum mencapai ke seluruh tahun ajaran.

...Sepertinya imejnya yang sudah mengakar masih belum bisa dihilangkan.

Mereka yang sulit untuk dihilangkan imej buruk mereka tentang Narika adalah mereka yang hanya tahu tentang Narika melalui rumor.

Misalnya, siswa-siswi di kelas 2B dapat mengevasuali kepribadian Narika tidak hanya dengan mendengar rumor tentang Narika yang menyebar di akademi, tapi juga dengan melhihat Narika itu sendiri di depan mereka.

Namun, mereka yang tidak tahu banyak tentang Narika hanya bisa menilainya berdasarkan rumor yang beredar. Denagn demikian, imej yang mereka miliki tentang Narika itu tidaklah lebih dari sekadar prasangka saja. Karena mereka tidak bisa memperbarui imej yang mereka miliki tentang Narika dengan melihat Narika secara langsung, imej Narika yang sudah ada dan terebar menjadi lebih kuat seiring berjalannya waktu.

Yah, bisa dibilang itu wajar-wajar saja.

Lagipula, itu tidaklah mudah untuk menghilangkan imej buruk Narika yang telah mengakar selama satu tahun terakhir hanya dalam beberapa hari.

“Mungkin..., kita memerlukan pemicu yang dramatis.”

Masih ada lima hari yang tersisa sampai dimulainya porseni. Aku merasa bahwa akumulasi dari hal-hal yang sepele saja tidak akan cukup untuk membuat kita menyelesaikan masalah ini tepat waktu. Saat aku bertanya-tanya dalam pikiranku tentang apa langkah yang bagus untuk dilakukan..., aku melihat rambut bor pirang yang bergoyang-goyang.

“Tennoji-san.”

Di sana, ada seorang tuan putri dari Grup Tennoji yang tidak kalah hebat dari Grup Konohana milik keluarga orang tuanya Hinako.

“Ara~, Tomonari-sa——”

Tennoji-san segera menyadari kehadiran kami, tapi...

“Tsun~”

Seolah teringat akan sesuatu, Tennoji-san menampilkan raut wajah yang tak senang, kemudian berbalik memunggungi kami.

“...Erm, kau kenapa?”

“Akhir-akhir ini kau terus mengecualikanku, jadi... Tsun~!”

Ini pertama kalinya aku melihat seseorang mengatakan ‘Tsun’ seperti ini, tapi..., secara tak terduga, Tennoji-san rupanya juga punya sisi yang kekanak-kanakkan.

Dalam situasi saat ini..., kurasa kami mungkin bisa meminta bantuan Tennoji-san.

Meskipun pihak lain yang megambil inisiatif, tapi karena pihak lain merasa takut, jadi Narika tidak bisa berbicara dengan mereka, yang mana itu membuat dia tidak bisa menghilangkan imej buruknya... Nah, bisa dibilang tahap pertama itu telah kami lewati. Sekarang, kami perlu sesuatu yang lebih besar dan lebih luas untuk menghilangkan imej buruknya yang sudah tersebar itu. Aku yakin, seorang yang selalu anggun dan terhormat seperti Tennoji-san pasti akan memunculkan beberapa ide yang bagus.

“Tennoji-san. Sebenarnya ada yang ingin kukonsultasikan padamu...”

“Tsun~”

Tennoji-san tidak mau mendengarkanku.

Astaga, apa yang harus kulakukan? Aku tidak menyangka kalau dia akan sengambek ini...

“...Pesta teh,” gumam Tennoji-san. “Kalau di lain waktu kau mau mengadakan pesta teh denganku, suasana hatiku mungkin akan jadi lebih baik.”

“...Baiklah. Kalau kau sendiri merasa tidak keberatan untuk pesta teh denganku, kapan saja aku mau.”

Saat aku menjawab begitu, Tennoji-san langsung tersenyum senang.

“Kurasa sekarang aku tidak punya pilihan lain... ——Oke, kalau gitu, kau bisa mengatakan apa pun yang ingin kau katakan!”

Meskipun dia bilang kalau dia tidak punya pilihan lain, tapi Tennoji-san tampak begitu senang. Kurasa, dia suka ketika dia diandalkan oleh orang lain.

Aku pun menoleh ke arah Narika, dan dia mengangguk. Nah, karena ini adalah masalah yang sensitif bagi Narika, jadi aku ragu jika aku yang menyampaikan pergumulannya pada Tennoji-san, tapi sepertinya Narika tidak keberatan dengan hal tersebut.

Dengan demikian, aku menjelaskan situasi kami saat ini pada Tennoji-san.

“...Begitu ya, jadi kalian sedang melakukan itu.”

Tennoji-san segera memahami situasinya.

“Jadi, untuk langsung ke intinya, kurasa kita perlu melakukan sesuatu yang lebih dramatis untuk membaikkan imejnya Narika lebih jauh lagi...”

“Fumu, fumu,” Tennoji-san mengangguk-angguk kepalanya. “Jadi maksudmu, itu harus merupakan sesuatu yang akan menjadi perhatian publlik, ya.”

Aku mengangguk, dan di sampingku, Narika tampak cemas.

“Ugh... Tapi kalian tahu ‘kan kalau aku orangnya tidak mahir menonjol.”

“...Kupikir kau orangnya sudah menonjol.”

Yah, menonjolnya dalam artian yang buruk sih......

“Bagaimana dengan pelajaran PJOK? Kudengar Miyakojima-sam selalu aktif di pelajaran itu.”

“Aktif sih aktif, tapi...,” ucap Narika, terdengar kurang percaya diri.

Aku tahu maksudnya Tennoji-san tanpa diberitahu. Tapi, karena kelas 2A dan kelas 2B mengadakan pelajaran PJOK bersama-sama, jadi aku tahu bahwa meskipun Narika aktif di pelajaran PJOK, namun faktanya imej buruk yang dia miliki sama sekali tidak berubah. Bagaimanapun juga, keseriusannya saat mengabdikan diri pada sesuatu terkadang tampak menakutkan. Dengan demikian, Narika yang sudah dipenuhi dengan imej buruk akan jadi terlihat memang benar seperti itu dari mata orang-orang di sekitarnya.

“Kalau gitu, bagaimana dengan ini?”

Tennoji-san membagikan idenya pada Narika.

Narika tampak sedikit terkejut saat dia mendengar ide itu, tapi pada akhirnya dia menganggukkan kepalanya dengan raut wajah yang tegas.

---

Di pelajaran PJOK hari itu, kami bermain bulu tangkis.

Raket disiapkan untuk semua siswa, dan reli pun dimulai dengan satu melawan satu.

“Tomonari, ayo bermain denganku.”

“Gas.”

Menanggapi ajakan dari Taisho, kami mulai bertukar pukulan kok.

Kemudian, “Pak”, kok yang kupukul terbang dalam jalur parabola menuju Taisho.

“Oh, jago juga kamu.”

“Akhir-akhir aku berlatih tenis, jadi mungkin aku semakin mahir dalam olahraga yang menggunakan raket.”

Dibandingkan dengan bola tenis, kok bulu tangkis memiliki kecepatan awal yang lebih tinggi. Namun, karena kecepatannya itu juga dengan cepat melambat, jadi ini membuatnya lebih mudah daripada tenis jika kita menginginkan relinya terus berjalan.

“Ngomong-ngomong, kurasa akhir-akhir ini kita jarang ngobrol-ngobrol,” ucap Taisho, sambil memukul kok.

——Saat mendengar itu, untuk sesaat aku jadi terkejut.

Ini adalah sesuatu akhir-akhir ini aku gumuli. Mencoba mencari teman baru tentunya akan mengurangi waktu yang bisa kuhabiskan bersama teman-temanku yang sudah ada. Dan jika aku mencoba bergaul dengan orang-orang yang memiliki kasta atas di akademi, akan ada resiko terciptanya jarak antara aku dengan mereka yang kastanya rendah. Aku khawatir jika aku mencoba untuk bergaul dengan kedua belah pihak dengan buruk, aku justru akan berakhir diasingkan oleh kedua belah pihak.

Dari sudut pandangnya Taisho, saat ini aku mungkin dilihatnya sebagai kupu-kupu sosial, tapi——

“Apa ada sesuatu yang terjadi padamu?”

Apa yang keluar dari mulut Taisho bukanlah kata-kata yang menyalahkan, tapi kata-kata keprihatinan yang tulus. Kepribadian Taisho yang positif dapat dilihat dari fakta bahwa dia justru lebih khawatir padaku kendati merasa curiga. Itu adalah kepribadian yang menyegarkan yang rasanya menghilangkan semua kekhawatiran yang ku bawa di hatiku saat ini.

Aku kembali memukul kok ke arahnya.

Sejauh ini, Taisho telah baik kepadaku. Karenanya, aku akan jujur kepadanya.

“Sebenarnya, aku mencoba untuk bergaul dengan lebih banyak orang. Aku ‘kan masih belum lama pindah ke Akademi Kekaisaran ini, jadi aku ingin terlibat dengan banyak orang yang berbeda.”

“Begitu ya. Jadi itu sebbanya kau bergaul dengan Kita,” ucap Taisho, terdengar mengerti situasiku. Dia kemudian memukul kok ke arahku, “Secara mengejutkan, kau orangnya stoik ya, Tomonari.”

“Begitukah?”

Aku mengembalikan kok ke arahnya.

Dari sudut mataku, kupikir aku melihat Taisho terkekeh.

“Yah, intinya, kalau memang itu masalahnya, maka aku akan mendukungmu. Aku tahu beberapa orang lain yang sepertinya cocok denganmu, jadi jika kau butuh bantuan, jangan ragu untuk berbicara denganku.”

“Terima kasih.”

Sungguh, dia benar-benar orang yang baik.

Tapi nyatanya sih, aku memang sudah mendapatkan bantuan dari Taisho dalam proses aku bergaul dengan Kita.

Di lain waktu, aku harus balas budi Taisho.

Saat aku memikirkan itu, di kejauhan aku melihat Narika sedang berbicara dengan seseorang.

Itu ‘kan..., Kita?

Rupanya, orang yang diajak bicara Narika adalah Kita.

“Alih-alih memukulnya tepat di atas kepalamu, lebih baik pukul sedikit di belakang kepalamu. Dengan begitu, muka raket akan mengarah ke atas, dan kok akan terbang dalam busur parabola.”

“Y-Ya...! Terima kasih!”

Kedengarannya, Narika sedang menjelaskan kepada Kita cara memukul kok.

Di sisi lain, melihat pertukaran di antara mereka berdua, siswa-siswi di sekitar merka mulai mendekati Narika.

“E-Erm, kalau tidak keberatan, aku ingin diajari juga...”

“?! Y-Ya! Tentu saja!”

Narika terkejut sesaat karena didekati, tapi dengan cepat dia meng-iyakan.

Sepertinya strateginya berhasil...

Ini adalah strategi yang dirancang Tennoji-san.

Kendati membuat Narika aktif, tapi buatlah orang-orang di sekitarnya menjadi aktif.

Tennoji-san berpikir bahwa jika Narika memiliki kemampuan untuk aktif dalam pelajaran PJOK, dia akan dapat mengajar orang lain juga. Faktanya, aku dan Hinako diajari tenis oleh Narika, jadi tidak ada keraguan dalam pemikirannya itu. Dan seperti yang juga kupikirkan sebelumnya, Narika memang pandai dalam mengajarkan sesuatu pada orang lain.

Dan begitulah, strategi dari Tennoji-san berhasil, dan beberapa siswa berkumpul di sekitar Narika.

Menurut Tennoji-san, strtegi ini dia sebut, “Operasi Noblesse Oblige!”. Kupikir, dia bermaksud mengatakan bahwa seseorang harus menerapkan apa yang menjadi bakatnya.

Beberapa saat kemudian, suara peluit bergema di gedung olahraga, dan istirahat lima menit diberikan.

“Narika.”

“Itsuki.”

Saat aku memanggil Narika yang sedang menyeka keringatnya dengan handuk, dia menoleh ke arahku sambil menampilkan senyum manis.

“Kelihatannya kau dalam kondisi yang baik.”

“Ya... Aku sendiri juga merasa keteganganku berkurang sedikit demi sedikit.”

Baguslah kalau begitu.

Sebagai akibat dari perubahan di sekitarnya, Narika sendiri juga berubah menjadi lebih baik.

“Apa sebelumnya kau tidak pernah melakukan sesuatu seperti ini?”

“Aku ada berpikir untuk melakukannya sih, tapi..., sebelum-sebelumnya, aku selalu menghindar,” jawab Narika, terdengar sedih saat dia menurunkan pandangannya.

Mungkin karena sekarang dia bisa menyingkirkan imej buruk tentang dirinya, dia jadi punya lebih banyak pilihan...

Jika itu Narika yang dulu, aku yakin dia tidak akan bisa mengajari siapa pun. Namun, belakangan ini Narika semakin diterima oleh orang-orang di sekitarnya. Suasana baru yang terciptalah inilah yang memubat tindakan Narika belakangan ini sukses.

Dengan ini, kuharap rumor bahwa Narika tidak menakutkan menyebar ke seluruh akademi...

Melalui pelajaran PJOK, kupikir imej baik Narika telah tersebar sedikit ke kelas 2A dan 2B. Namun, tetap masih akan memakan waktu supaya bisa menyebar ke kelas lain.

“...Tinggal beberapa hari lagi sampai dimulainya porseni. Aku tidak tahu seberapa jauh kita bisa mengubah imejmu, tapi ayo terus lakukan yang terbaik sampai akhir.”

“Ya!”

Dengan tatapan yang penuh dengan motivasi, Narika menganggukkan kepalanya.

---

Sepulang sekolah.

Sebelum bertemu dengan Narika, aku menemui Tennoji-san terlebih dahulu.

“Tennoji-san.”

“Oh, Tomonari-san.”

Masih berada di dalam kelas, Tennoji-san berbalik untuk menanggapi panggilanku.

Sungguh, padahal dia hanya sekadar berbalik saja, tapi itu saja tampak begitu elegan. Nah, sejak awal,  Akademi Kekaisaran memiliki ruang kelas yang mewah dan elegan yang tidak ada bandingannya dengan sekolah, tapi keberadaan Tennoji-san membuat lingkungan di sekitarnya jadi tampak lebih anggun lagi.

“Terima kasih. Strategi yang kau buat untuk Narika tadi berjalan dengan lancar.”

“Senang mendengarnya.”

Aku tidak mau Tennoji-san merajuk lagi, itulah sebabnya aku datang menemuinya untuk melaporkan sekaligus berterima kasih padanya segera setelah sekolah usai.

“Apa kau akan langsung pulang hari ini, Tomonari-san?” tanya Tennoji-san, menampilkan senyum elegan.

“Tidak, setelah ini aku rencananya akan menemui Narika untuk membahas apa yang akan kami lakukan kedepannya.”

“Aku juga ingin membantu kalian lebih banyak lagi, tapi... hari ini aku punya beberapa keperluan yang harus kulakan di rumah, jadi kurasa aku tidak bisa membantu kalian.”

“Kamu yang ingin membantu saja sudah membuatku senang kok.”

Lagipula, aku sendiri juga tahu bahwa Tennoji-san orangnya sibuk.

Setelah keluar dari kelas, Tennoji-san langsung berjalan menyusuri lorong—tapi entah mengapa, dia pergi ke arah yang berlawanan dari tempat loker sepatu berada.

Aku penasaran, dan karena jika aku menemuinya hanya untuk melapor akan terkesan acuh tak acuh, jadi aku mengikutinya.

Setelah sampai di pendaratan tangga, Tennoji-san melihat-lihat sekeliling dengan gelisah.

“E-Ehem... Ngomong-ngomong, Itsuki-san...,” Tennoji-san berdehem, dan pipinya tampak sedikit memerah.

“Ya.”

“Sekarang hanya ada kita berdua loh?”

“Aah... Oh iya ya, kau benar.”

Sekarang setelah dia mengatakan itu, dia benar. Ketika kami hanya berduaan, aku sudah berjanji pada Tennoji-san bahwa aku akan menggunakan logat asliku. Hanya saja..., aku tidak menyangka kalau dia akan mau repot-repot berjalan ke sini hanya untuk bisa berduaan denganku.

Merasa sedikit gelisah, untuk berjaga-jaga aku melihat-lihat sekeliling kalau-kalau ada yang mungkin mendengarkan kami.

“Tingkahmu terlihat mencurigakan loh.”

“T-Tidak... Tapi bagaimanapun juga, ada banyak hal yang mesti diwaspadai saat di dalam akademi.”

“Tapi saat sedang berbicara dengan Miyakojima-san, bukannya kau berani berbicara dengan logatmu yang asli?”

“Itu ‘karena aku sudah kenal dengan Narika sejak lama, jadi kalau aku harus mengatakannya, aku tidak punya perasaan untuk menahan diri atau bersikap formal...”

Mendengarku menyebut nama ‘Narika’, Tennoji-san tampak berpikir dalam-dalam.

“...Sepertinya, kau memang harus memanggilku Mirei juga? Dengan begitu, mungkin perasaanmu untuk bersikap formal akan berkurang,” ucap Tennoji-san.

Tapi, aku tidak bisa menelan pendapatnya itu dengan mudah.

“Erm...”

“A-Ada apa dengan responmu itu? K-Kalau... Kalau kau memang gak mau, gak masalah juga sih...”

“Ah, tidak, ini bukannya aku tidak mau memanggilmu seperti itu...”

Tennoji-san tampak lebih tertekan daripada yang kuduga, jadi aku buru-buru menggelengkan kepalaku.

“Bagiku, kau adalah orang yang benar-benar tampak selayaknya Ojou-sama daripada orang lain, Tennoji-san. Kau selalu bersikap anggun, mulia, dan lantang dengan posisimu... Karena aku menghormati kamu yang seperti itu, makanya hanya kepadamu aku selalu memanggil dengan cara yang sama seperti yang biasanya kulakukan.”

Bagi sebagian orang, gagasan bahwa mereka tampak selayaknya Ojou-sama mungkin merupakan hal yang tidak mengenakkan. Contohnya, jika aku mengatakan hal yang sama kepada Hinako, dia mungkin akan berkata, “Aku ingin berhenti menjadi Ojou-sama,”

Namun, jika itu menyangkut Tennoji-san, itu adalah pujian terbesar.

Tennoji-san ingin menjadi Ojou-sama yang sesuai dengan nama keluarga yang ia sandang. Akibatnya, ada saat ketika dia bahkan sampai mengabaikan kebahagiannya sendiri untuk hal tersebut, namun sekarang tidak demikian. Sekarang dia mencoba menjadi Ojou-sama yang pantas namun masih tetap memprioritaskan kebahagiannya.

Aku mendukung Tennoji-san yang seperti itu dari lubuk hatiku yang terdalam. Karenanya, aku yang memanggilnya ‘Tennoji-san’ merupakan caraku untuk memberikan hormat kepadanya. Aku ingin menegaskan bahwa Tennoji-san adalah seorang yang pantas di sebut Ojou-sama.

“Ka-..., Kalau kau sebersikeras itu, maka apa boleh buat!” ucap Tennoji-san, sambil mengalihkan pandangannya.

Dia mungkin berusaha tetap terlihat tenang, tapi pipinya benar-benar mengendur.

“Kalau kau bilang kau sangat menghormatiku seperti itu, maka jangan sungkan-sungkan... Aku akan mengizinkanmu untuk terus memanggilku dengan nama itu.” Setelah mengatakan itu, Tennoji-san menarik napas dalam-dalam, “...Selain itu, aku pribadi menyukai nama keluarga Tennoji.”

Ada perasaan yang begitu mendalam dalam kata-katanya

Dari mendengar bagaimana Tennoji-san menyatakan itu secara terbuka, paling tidak, orang yang mendengarnya bisa mengerti seberapa bahagianya dia di dalam keluarga Tennoji. Keluarga Tennoji pasti sangat berharga sehingga dia mengatakan itu dengan tulus tanpa adanya perasaan bahwa dia harus merasa seperti itu.

Setelah berpisah dengan Tennoji-san, aku menemui Narika.

“Maaf membuatmu menunggu, Narika.”

Kulihat, di samping Narika sudah ada Hinako.

Bisa dibilang, ini adalah pertemuan kami yang seperti biasanya, tapi ini bukanlah pesta teh untuk mempererat persahabatan. Kami harus berdiskusi dan mendapatkan hasil yang baik.

“Karena strateginya Tennoji-san berjalan dengan baik, ayo kita terus naiki gelombang arus yang berjalan ini.”

“Ya! Sekarang aku merasa seperti aku bisa melakukan apa saja!”

Narika sangat termotivasi.

Porseni tinggal sebentar lagi. Dengan demikian, kami harus melalukan semua yang bisa kami lakukan. Misalnya, strateginya Tennoji-san mungkin juga akan berguna di luar dari pelajaran PJOK.

Tanpa putus asa sampai akhir, kami memutuskan untuk terus berjuang.

Tapi... Keesokan harinya, sesuatu yang tidak terduga terjadi.

Narika izin tidak masuk ke akademi.



2 Comments

Previous Post Next Post