Seiken Gakuin no Maken Tsukai Volume 6 - Bab 7

Bab 7
Ritual Pemujaan


Gang belakang di area kumuh lah tempat pertama kali anak lelaki itu bertemu dengan pria itu.

“Anak yatim. Begitu ya...”

“...?”

Anak lelaki yang berbalutkan kain compang-camping dan berlutut di lumpur itu menatap sosok tinggi pria di hadapannya. Dia tampan dan memiliki rambut pirang yang indah. Pria itu kemudian memeriksa wajah anak itu. Armornya berwarna perak dan jubahnya berwarna putih bersih. Sebuah pedang yang dihiasi dengan dekorasi emas tergantung di pinggulnya.

“...Apa anda seorang ksatria?”


Anak lelaki itu dengan cepat memperbaiki posturnya dan bersujud. Ksatria merupakan salah satu kelas tertinggi di Kerajaan Rognas, dan jika seorang gelandangan kecil seperti dirinya terlihat tidak menghormati ksatria, pria itu berhak untuk menebasnya di tempatnya berdiri.

Tapi, mengapa pendekar pedang yang gagah dan anggun ini memanggilnya...? Anak itu benar-benar tidak bisa mengerti.

“Jiwamu memiliki warna yang langka dan luar biasa. Warna yang sama denganku—jiwa seorang pahlawan.”

“Eh?”

Ksatria itu mengatakan sesuatu yang sangat aneh.

“Oh, aku ini bisa melihat warna jiwa seseorang. Itu merupakan salah satu keterampilan unik yang kumiliki.”

“Warna..., dari jiwa seseorang...?” ulang anak itu, tercengang.

“Apa kau punya keluarga?” tanya pria itu sambil meletakkan tangannya di bahu anak itu.

“Aku tidak punya keluarga. Kakak dan adikku telah tewas dalam perang.”

“—Begitu ya. Mendengar itu membuatku sangat sedih. Ksatria dari kerajaan ini telah mengecewakanmu.”

“Ti-Tidak, Tuanku! Sama sekali tidak...!” desak anak itu, takut.

Dia memiliki perasaan bahwa mata biru ksatria ini memang benar-benar bisa melihat menembusnya, sampai ke dalam intinya—dan, ya, jiwanya.

“Berapa umurmu?”

“Aku lima..., tidak, mungkin enam tahun.”

“Apa kau pernah memegang pedang sebelumnya?”

Anak lelaki itu menggelengkan kepalanya. Dia belum pernah memegang pedang sungguhan dalam hidupnya.

“Bagus, jauh lebih baik seperti itu.” Pria itu mengangguk, jelas terlihat merasa puas. “Itu artinya kau masih belum mengembangkan kebiasaan yang tidak berguna.”

“Hm...?”

Wajah anak lelaki itu diselimuti dengan kebingungan, namun pria itu kemudian mengulurkan tangannya kepadanya dan mengajukan pertanyaan.

“Katakan padaku, Nak—apa kau ingin menjadi pahlawan?”

---

Bip bip bip bip bip...!

“...Ngh, orang bodoh mana yang berani mengganggu tidurnya Penguasa Kegelapan ini?!”

Masih setengah tertidur, Leonis mengambil terminalnya yang berdering dan melemparkannya ke dinding. Perangkat itu terpental dan kemudian jatuh ke lantai.

“...”

Leonis bangun, memijat pelipisnya dan menghela nafas. Di luar hampir senja. Dua hari telah berlalu sejak Sakuya mengajaknya berkeliling di Kota Tua, dengan kata lain hari ini adalah hari ritual pemujaan. Sesi belajar di Akademi Excalibur dikosongkan hari ini, jadi setelah dia berlatih dengan Riselia di pagi hari, Leonis tidur siang.

Dia kemudian duduk di tempat tidurnya, menyisir rambutnya yang acak-acakan dengan jari-jarinya.

Sungguh mimpi yang tidak menyenangkan.

...Dari semua hal, dia harus memimpikan pria itu. Guru Leonis dan Master Pedang Enam Pahlawan. Sebagian besar ingatan Leoins tentang hari-harinya sebagai pahlawan telah memudar... Mengapa dia masih harus melihat gurunya di dalam mimpi?

Sambil meringis, Leonis bangkit dari tempat tidur. Sudah hampir waktunya untuk festival. Dia perlu berganti pakaian, menjemput Tessera di panti asuhan, dan kemudian pergi ke Kota Tua.

...Kuharap tidak ada hal luar biasa yang akan terjadi.

Leonis memikirkan kembali apa yang Sakuya katakan kepadanya.

Anggota Satuan Kenki, kelompok elit dari Anggrek Sakura, telah menemui Sakuya. Mereka dulunya ditugaskan untuk melindungi keluarga kerajaan, tetapi seperti orang-orang mereka yang lain, sembilan tahun lalu mereka telah kehilangan tanah air mereka akibat Void Stampede.

Dan sekarang, untuk membalaskan dendam mereka pada Void Lord yang bertanggung jawab atas insiden memilukan itu, mereka berencana untuk menyebabkan Stampede lain di sini di Assault Garden Ketujuh. Tempo hari, Sakuya telah mencoba mendekati Penguasa Kegelapan Zol Vadis untuk meminta bantuan menghentikan mereka.

Ini adalah kerajaanku. Aku tidak akan membiarkan mereka bertindak sesuka hati mereka.

Dia saat ini menempatkan Shary dan Blackas di Kota Tua kalau-kalau ada terjadi sesuatu. Selain itu, dia juga sudah mengirim Pasukan Serigala Iblis untuk melacak pergerakan musuh. Namun, mereka masim belum menemukan jejak Satuan Kenki.

Aku benar-benar perlu memperkuat organisasi intelijenku di masa depan.

Blackas adalah seorang jenderal penyerang yang akan menunjukkan kekuatan penuhnya di medan perang, dan untuk Shary, meskipun gadis itu berbakat dalam pengintaian, perannya yang sebenarnya adalah pembunuhan dan bukan mengumpulkan informasi. Beberapa spesies beastmen sangat cocok untuk menjadi mata-mata, namun tidak ada beastmen yang menjadi bawahan Leonis yang memiliki keterampilan khusus yang dibutuhkan itu.

...Pada titik tertentu, aku harus merekrut orang yang ahli dalam hal semacam ini.

Seorang gadis berambut hitam dan memiliki Pedang Suci yang dioptimalkan untuk pengumpulan data terlintas di benak anak lelaki itu, tapi kemudian...

“Leo, kamu sudah bangun? Sudah waktunya untuk menjemput Tessera.”

“Bersiaplah dan berpakaianlah sendiri, Leo!”

Riselia dan Regina memanggilnya dari sisi lain pintu.

---

“Bagaimana menurutmu? Apa yukata ini terlihat bagus untukku?”

Regina masuk dan berputar di tempatnya berdiri, memamerkan pakaiannya. Itu bukanlah seragamnya yang biasa dia kenakan, tapi pakaian tradisional Anggrek Sakura yang disebut yukata. Yukata gadis berambut pirang itu terbuat dari kain biru-hijau pucat dan dihiasi dengan pola bunga dan kupu-kupu. Rambutnya tidak dia kuncir seperti biasanya. Sebaliknya, dia mengikatnya menjadi ponytail.

“H-Hm...”

Saat Regina berpose, Leonis buru-buru mengalihkan pandangannya darinya. Yukata yang Regina kenakan sangat terbuka di area sekitar dada dan memiliki celah yang cukup besar di ujungnya. Sejujurnya, itu menciptakan pemandangan yang menggiurkan ketika seorang gadis cantik seperti Regina memakainya.

“Oh, mengapa kamu jadi tersipu gitu, Leo? Fufufu... ♪” Regina tersenyum setelah melihat reaksi gugup Leonis.

Dia kemudian mencondongkan tubuhnya ke depan dan menusuk-nusuk pipi Leonis dengan jarinya.

“...!” Leonis melompat.

Menahan godaan semacam ini melukai martabatnya sebagai Penguasa Kegelapan. Karenanya, dia memutuskan untuk berbalik dan menatap langsung ke Regina.

“... Hm? L-Leo?”

Regina tampak agak bingung sekarang karena Leonis menatapnya.

“Ya, itu sangat cocok untukmu,” gumam Leonis. “Model rambutmu itu juga terlihat sangat imut untukmu.”

“Eh, benarkah? I-Ini..., imut?” tanya Regina, tersipu.

“Ya, tentunya penampilanmu yang biasanya pun juga imut.”

“...Aaaahhhh, ka-kamu enggak boleh menggoda seorang gadis seperti itu.”

“Aku tidak menggodamu. Hanya saja memang itu yang kupikirkan sekarang...”

“Bo-Bodoh! Dasar bodoh!!!” Regina menggeleng-gelengkan kepalanya, wajahnya merona merah saat rambut ponytailnya bergoyang dari sisi ke sisi.

Regina adalah tipe gadis yang tidak bisa menerima pujian blak-blakan. Meski demikian, Leonis memang tidak berbohong dalam kata-katanya yang dia sampaikan barusan. Regina benar-benar terlihat imut. Namun, terus mengulangi menyebut Regina imut hanya akan membuatnya lebih malu, jadi Leonis memutuskan untuk tidak meneruskannya.

...Aku takut memikirkan apa yang mungkin dia lakukan kalau aku menggodanya terlalu jauh.

Bagaimanapun juga, yang dia goda di sini adalah Regina, orang yang memegang otoritas tertinggi atas menu makan malam mereka.

“Nona Selia, ini mengerikan! Leo berubah menjadi Penguasa Kegelapan di ranjang lagi!” Di hadapan lawan yang tidak bisa dia lawan dengan baik, Regina mengadu pada nyonyanya.

“Ya, ya, sekarang lebih baik kalian berhenti bermain-main dan bersiap-siap,” jawab Riselia.

“Bersiap apanya?” tanya Regina.

“Baik aku dan Leo masih perlu berganti ke yukata kami. Nah, ini yukatamu, Leo,” ucap Riselia, mengambil pakaian yang terlihat rapi dari tasnya. “Aku menyewanya dari toko pakaian. Itu harusnya sesuai dengan ukuranmu.”

“Aku pakai seragam saja,” sela Leonis.

“Gak boleh. Aku mau melihatmu—ahem, maksudku aturannya memang harus seperti ini kalau kita sedang merayakan festival.”

“...Begitu ya.”

Jika memang ada aturan seperti itu, dia tidak berniat menentangnya. Leonis pun menerima yukata itu dengan enggan.

“Apa aku boleh mengikat selempangnya (obi) sesukaku?” tanya Leonis, menyebarkan yukatanya dan menatapinya dengan rasa ingin tahu.

“Jangan khawatir, aku akan membantumu nanti,” jawab Regina, meletakkan tangannya di bahu Leonis.

“Ti-Tidak usah. Aku bisa memakainya sendiri.”

“Tidak, tidak, tidak. Kita tidak punya banyak waktu.”

“Baiklah, aku akan ganti baju dulu,” ucap Riselia. “Regina, bantuin Leo berpakaian, ya.”

“Siap, Nona Selia.”

Melihat Regina mengangguk penuh semangat, Riselia pergi ke kamarnya. Tidak lama setelah pintu ditutup, Regina meraih kemeja Leonis.

“Ayo, Leo, buka seragammu. Atau apakah kamu mau aku melepaskannya untukmu?”

Menyadari bahwa dalam situasi ini perlawanannya hanya akan sia-sia, Leonis denagn patuh melakukan apa yang diperintahkan.

“Celanamu juga,” tambah Regina.

“...A-Aku tahu! Cepat berbalik sana, Regina!”

Begitu Leonis yakin Regina tidak melihat ke arahnya, dia dengan cepat melepaskan celananya dan mengenakan yukatanya.

“Fufufu, itu terlihat bagus untukmu... Oh, kerahmu terbalik, seharusnya tuh seperti ini.”

Gadis berambut pirang itu memperbaiki kerah Leonis dan dengan cepat mengikatkan selempang (obi) di pinggangnya. Leonis tidak menunjukkan perlawanan sampai kemudian Regina mengencangkan ikatan selempangnya.

“Re-Regina... Itu terlalu kencang, aku tidak bisa bernapas.”

Dia tidak pernah merasa sesak napas seperti ini semenjak Naga Pelahap Gunung menyerang Necrozoa dan menyerimpitnya seribu tahun yang lalu.

“Apa kamu mau aku melonggarkannya sedikit?” tanya Regina, menyesuaikan selempang (obi). “Tapi kalau terlalu longgar, itu mungkin akan terlepas nanti.”

“Leo, apa kamu sudah siap?” Pintu terbuka, dan Riselia masuk, sekarang dia sudah mengenakan yukata-nya.

“...?!”

Leonis menelan ludahnya sendiri. Penampilan Riselia yang mengenakan yukata sangat menakjubkan. Yukata gadis itu memiliki garis-garis hitam-putih dengan pola bunga, dan rambut peraknya yang indah ditata rapi. Yukatanya memperlihatkan lekukan-lekukan memikat di lehernya, membuat suasana murninya yang biasanya menjadi sedikit lebih menggairahkan.

“Kamu terlihat sangat cantik, Nona Selia!” puji Regina.

“Te-Terima kasih, Regina,” jawab Riselia, mengangkat satu lengan yukatanya untuk menutupi ekspresi yang malu-malu.

“...Kamu benar-benar terlihat cantik.” Kata-kata itu secara alami keluar dari bibir Leonis.

“...Hmph. Kamu terdengar lebih jujur ​​​​daripada ketika kamu memujiku,” gerutu Regina.

“Terima kasih, Leo. Yukatamu juga terlihat bagus untukmu.” Riselia tersenyum, memeriksa penampilan Leonis dan mengangguk puas.

Dan kemudian, dia menepukkan tinjunya ke telapak tangannya, seolah-olah dia baru saja menemukan ide bagus.

“Oh, benar! Ayo ambil fotonya Leo yang lagi memakai yukata ini!”

“Oh, mengapa aku tidak memikirkan itu dari tadi? Tunggu di sini, aku akan pergi mengambil kamera—” Regina hendak pergi, tapi kemudian...,

“...Ayo pergi,” ucap Leonis sambil menghela nafas. “Tessera sudah menunggu kita.”

---

Mereka naik shuttle bus ke panti asuhan, bertemu Tessera, dan kemudian naik bus lain ke Kota Tua. Matahari sore sudah terbenam di bawah tembok kota, dan kegelapan samar mulai mewarnai langit. Seperti Leonis, Tessera mengenakan yukata anak-anak. Leonis pikir yukata Tessera juga sewaan seperti miliknya, namun rupanya, itu adalah yukata buatan tangan Phrenia.

Mereka turun di stasiun Sektor Dua dekat Kota Tua dan menuju ke gerbang dengan berjalan kaki. Meskipun agak sulit untuk berjalan menggunakan bakiak kayu, tapi tampaknya, itu adalah bagian dari nuansa festival.

Karena sedang ada festival, secara alami ada jauh lebih banyak orang di sekitar daripada saat dua hari yang lalu. Dan karena hari ini adalah hari libur, ada banyak siswa akademi yang datang. Leonis bisa tahu itu karena ada banyak dari mereka yang berjalan-jalan dengan megnenakan seragam akademi.

“...Kupikir memakai yukata adalah bagian dari aturan festival di sini?” ucap Leonis, mengarahkan tatapan curiga ke arah Riselia.

“A-Aku ingin melihatmu memakai yukata!” ucap Riselia, tidak sanggup menatap mata Leonis.

Jalan utama di situ diterangi dengan lentera mana, dan suara musisi festival terdengar keras. Banyak kios didirikan di sepanjang jalan, memberikan suasana yang sangat berbeda dari biasanya.

“Sungguh ada banyak sekali ya orang yang datang ke sini,” ucap Riselia, suaranya pelan.

“Ya. Kita harus berhati-hati supaya tidak berpisah,” ucap Leonis, menawarkan tangannya pada Tessera.

“Eh? Le-Leo...? Um...” Dengan malu-malu Tessera meraih tangan Leonis, wajahnya memerah saat dia menundukkan kepalanya. “Te-Terima kasih...”

Di sisi lain, Riselia juga meraih tangan Leonis yang lain. “Pastikan kau sendiri juga tidak tersesat, Leo.”

“Aku akan baik-baik saja. Lagipula aku punya terminal komunikasi.”

“Tidak,” tegur Riselia, tegas. “Beberapa orang dewasa yang buruk mungkin akan menculikmu nanti.”

“...Aku ragu tentang hal itu.”

Tessera terkikik ketika dia mendengar percakapan mereka.

“Lihatlah dirimu, Leo, kau sangat populer,” goda Regina, menyodok-nyodok bagian belakang leher Leonis.

Menanggapi itu, Leonis mengerutkan keningnya. “He-hei, hentikan itu.”

“Ah, lihat itu! Imut sekali...” Riselia berhenti berjalan dan melihat ke salah satu kios.

Jika ada yang sesuatu yang imut di sini, maka itu kamu, pikir Leonis. Mata dari pengikutnya itu tertuju pada manisan apel dan mandarin. Itu merupakan jenis manisan yang sudah bisa diduga akan disukai oleh para gadis.

“Tidak, jika ada sesuatu yang imut di sini, maka itu kamu, Nona Selia,” sambut Regina.

“...Re-Regina, kamu ini ngomong apaan sih?!”

---

Arle Kirlesio menelusuri jalan-jalan yang diterangi cahaya lentera mana.

Festival yang sangat meriah. Padahal, dunia ini sedang dikuasai oleh monster yang tak dikenal...

Kegembiraan dari perayaan festival yang meriah ini adalah sesuatu yang tidak akan pernah gadis elf itu temui di hutan tempat dia berasal. Tentunya elf juga memiliki festival mereka sendiri, namun festival yang mereka adakan jauh lebih sederhana dan tenang. Arle merasa tidak nyaman di keramaian ini.

Tapi jika demikian, mengapa dia datang ke festival ini? Itu cukup sederhana—Penguasa Kegelapan Zol Vadis telah memerintahkan Pasukan Serigala Iblis ke tempat ini untuk mengawasi ancaman teroris yang mungkin akan menyerang.

Ketika Lena memberi tahu Arle tentang misi mereka, pahlawan elf itu ingin mengingatkan dark elf itu bahwa mereka juga termasuk teroris, namun dia memutuskan untuk tidak melakukan itu.

“Meskipun, harus kuakui kalau kios-kios makanannya enak-enak...”

Saat dia makan mie goreng yang dia beli dari salah satu penjual, Arle melihat sekeliling. Indera pendengaran elf cukup tajam untuk mendengar percakapan bahkan di tempat yang penuh orang.

Tapi kemudian, tiba-tiba, tatapannya tertuju pada seorang gadis berpakaian putih. Gadis itu berjalan melewati kerumunan seperti hantu. Rambutnya berwarna biru cerah, dan wajahnya tersembunyi di balik topeng. Mungkin dia membeli topeng itu di salah satu kios? Namun, meskipun penampilan gadis itu jelas bukan jenis penampilan yang akan membuatnya tidak mencolok, sepertinya tidak ada orang-orang di sekitar yang menyadari keberadaannya.

Rambut biru itu...

Arle segera teringat dengan pendekar pedang yang dia temui di dermaga beberapa hari yang lalu. Meskipun, apakah rambutnya memang sepanjang itu?

...Kenapa, ya? Sesuatu tentang gadis itu terasa ganjil...

Merasakan sesuatu yang tidak menyenangkan dari gadis bertopeng itu, Arle memutuskan untuk mengikutinya.

...Eh?

Namun sebelum dia memiliki kesempatan, gadis itu menghilang ke kerumunan.

---

Leonis dan kelompoknya berkeliling alun-alun, menikmati permen kapas dan permen apel yang mereka beli.

“Oh, ada kios menembak di sana. Aku jago dalam hal itu!” ucap Regina dengan penuh semangat, menarik lengan baju Leonis.

“Kurasa itu memang keahlianmu,” jawab Leonis.

“Bolehkah aku mencobanya, Nona Selia?”

Riselia mengangguk sambil menampilkan sedikit senyum yang dipaksakan. “Tentu...”

Rupanya, ini adalah permainan di mana seseorang harus menembak dan menjatuhkan hadiah dengan menggunakan pistol mainan.

“Kamu mau yang mana, Tessera?” tanya Regina sambil memasukkan peluru gabus ke dalam laras pistol.

“Um. Aku ingin yang itu... boneka beruang itu...”

“Boneka beruang? Itu agak besar, tapi aku akan mengambilkannya untukmu!”

Regina memejamkan satu matanya dan mengangkat pistol. Tiba-tiba, ekspresinya berubah dari seorang gadis yang menikmati festival menjadi seorang penembak jitu yang profesional.

“Senjata Pemusnah Anti Monster Udara—Pembunuh Naga!” Dengan teriakan yang sangat antusias, gadis itu menarik pelatuk senjatanya.

Peluru gabus melesat di udara dan mengenai boneka beruang itu tepat di antara kedua matanya—namun beruang itu hanya terhuyung-huyung di tempat.

“...”

“Aku mengenainya! Aku mengenainya!”

“Nona, mengenainya saja tidak cukup. Kamu harus menjatuhkannya juga,” ucap orang yang mengelola kios itu sambil tersenyum.

“...Mm. Baiklah,” jawab Regina sambil mengisi ulang peluru pada pistol mainan itu lagi. “Kalau begitu bagaiman adengan ini?!”

Pop! Pop!

Dia melepaskan dua tembakan, yang mana keduanya mengenai titik yang sama dalam selang waktu beberapa detik. Tapi sekali lagi, boneka itu hanya bergoyang sedikit.

“Regina, mungkin sebaiknya kamu menyerah saja...,” ucap Riselia padanya.

“Masih belum, Nona Selia! Aku akan mencoba membidik sudut yang tepat kali ini—”

“Biar aku coba,” sela Leonis, menurunkan lengannya dan mengambil pistol mainan itu.

“Leo...”

“Leo?”

Kedua gadis itu menatap Leonis dengan ekspresi penasaran, tapi Leonis hanya mengangguk dan memasukkan peluru gabus ke dalam laras. Penjaga kios itu kemudian mencibir padanya.

Peluru iblis, itu akan mencungkil takdir itu sendiri...

Dia melepaskan tembakan yang diisi dengan sedikit mana, dan mengenai kaleng yang ada di tepi rak. Tidak mengenai sasaran..., atau setidaknya itulah yang harusnya terjadi. Namun, peluru dengan cepat memantul, mengenai hadiah di dekatnya. Peluru itu kemudian berbelok ke samping, dan mengenai hadiah yang dekat darinya, dan kemudian hadiah di sebelahnya, dan hadiah di sebelahnya juga. Pada akhirnya, peluru itu mengenai pilar kios, dibelokkan lagi, dan langsung mengenai boneka beruang itu.

Seperti upaya yang Regina lakukan, beruang itu tidak jatuh. Peluru gabus itu jatuh ke tanah, memantul, dan menembak ke arah beruang lagi. Kejadian itu terulang dua kali, tiga kali, empat kali, lima kali, enam kali. Keajaiban itu terus berulang-ulang, dan rentetan peluru tunggal itu akhirnya menjatuhkan beruang itu dari rak.

“Fiuh, itu tembakan yang sulit,” ucap Leonis sambil mengangkat bahu dan mengembalikan pistol mainan.

“L-Leo, itu luar biasa...!” ucap Tessera, matanya melebar penuh rasa hormat dan kagum.

“Ti-Tidak buruk juga kamu, Leo...,” tambah Regina, jelas kagum.

Riselia sebenarnya sadar kalau Leonis menggunakan sihir, namun dia hanya tersenyum, tampaknya puas dengak aksi Leonis sehingga memilih untuk mengabaikan triknya.

“Baiklah, sekarang, ayo ambil hadiahnya—”                             

“Ja-Jangan bercanda!” teriak penjaga kios pada mereka. “Itu tidak masuk akal! Kau curang!”

Sontak, Tessera takut dan bersembunyi di belakang Leonis.

“Kalau ada yang curang di sini, maka itu kamu,” balas Leonis, menunjuk ke rak hadiah.

Ada sebuah tongkat di tempat boneka beruang itu berada, dan sebelumnya boneka itu tersangkut di atas tongkat itu, menjaganya supaya tidak jatuh.

“...Da-Dasar anak nakal!”

Marah karena kecurangannya terungkap, pria itu mencengkeram kerah yukata Leonis.

Leonis mencibir dingin. “Oh? Jadi kau ingin mengalami teror kematian, ya...”

“A-Apa...?” jawab pria itu, wajahnya berkerut marah.

Tapi tiba-tiba, suara yang tajam menyela percakapan mereka.

“Apa yang kau lakukan? Aku ‘kan sudah memintamu untuk menahan diri tidak menggunakan kekerasan.”

Leonis berbalik dan melihat seorang gadis berambut hitam mendekati mereka.

“Finé!” seru Riselia, gembira.

Elfiné bergerak melewati kerumunan. Dia memiliki pita Komite Eksekutif di lengannya dan ditemani oleh dua orb (bola) melayang.

“Elfiné, apa yang kau lakukan di sini?” tanya Leonis.

“Komite Eksekutif memintaku untuk membantu mengelola festival,” jelasnya. “Aku sering dipanggil untuk bantu-bantu masalah keamanan selama event-event seperti ini.”

...Oh begitu ya.

Kekuatan Mata Penyihir milik Elfiné cukup berguna untuk perayaan event berskala besar seperti ini. Komunikasi jarak jauh, membimbing pengungsi, menemukan anak hilang, mengawasi sosok mencurigakan, dan..., menghentikan kerusuhan. Elfiné bisa mengcover area yang cukup luas ketika kedelapan orbnya (bola) aktif.

Tentunya, karena Elfiné hanya satu orang, dia masih membutuhkan bantuan orang lain untuk menangani semuanya.

“Jadi, apa yang terjadi di sini? Mengapa kau mengangkat tanganmu ke anak kecil...?” tanya Elfiné, mengangkat alis.

“Ah, yah... Erm...” Pria itu buru-buru melepaskan Leonis.

“Pria ini mencoba menipu orang untuk mendapatkan uang mereka,” ucap Leonis, menunjuk ke arah rak.

“...?” Elfiné mengikuti arah yang Leonis tunjuk dan dengan cepat menyadari apa yang telah terjadi.

“Tidak, um, yah...,” pria itu terbata-bata.

“Kami akan mendengar apa yang ingin kau katakan di kantor pusat. Untuk saat ini, bisnismu ditangguhkan,” ucap Elfiné sambil menempelkan stiker penangguhan di papan nama kios. “Terima kasih atas kerja sama kalian, semuanya.”

Dia menundukkan kepalanya ke Leonis dan yang lainnya, kemudian pergi bersama pria yang sedih itu.

“Wow, kelihatannya Finé sibuk sekali,” ucap Riselia.

Regina setuju dan menjawab, “Kau benar. Ayo nanti kita mampir ke kantor pusat untuk membawakannya camilan dari festival.”

“Nah, ini untukmu, Tessera.” Leonis mengambil boneka beruang mewah itu dan memberikannya kepada gadis itu.

“T-Terima kasih, Leo!” Meski tersipu, gadis berusia sembilan tahun itu menerimanya dengan gembira dan memeluk boneka beruang itu erat-erat.

---

Leonis melihat sekeliling, menjaga pandangannya kalau-kalau ada masalah. Dia dan yang lainnya sedang berjalan menyusuri jalan utama menuju tempat tarian Sakuya akan diadakan.

Saat berjalan, Riselia menunjuk ke kerumunan yang terbentuk di depan mereka. “Lihat ke sana. Sepertinya ada sesuatu yang terjadi?”

Orang-orang terdengar bersorak pada sesuatu.

“Itu pasti pertunjukan jalanan. Ayo kita lihat,” jawab Regina.

“Kedengarannya bagus.” Riselia menoleh untuk melihat Tessera, yang  gadis itu jawab dengan mengangguk setuju. Di tengah-tengah lingkaran penonton terdapat sebuah payung besar, dengan para penghibur berdiri di bawahnya.

...Ayo lihat apakah para penghibur ini bisa disandingkan dengan sirkus skeletonku, pikir Leonis sambil berjalan melewati kerumunan untuk mendapatkan visi yang lebih baik.

“...?!”

Segera, ekspresinya menegang. Soalnya, ada dua wajah yang tidak asing baginya  sedang tampil dalam pertunjukkan itu.

Seorang gadis beryukata berdiri di bawah payung, menjuggling belati dan bola dengan terampil, meskipun ekspresinya agak kosong. Dan duduk di sampingnya adalah serigala hitam besar, menyeimbangkan bola besar di atas hidungnya.

...Shary dan Blackas?!

Saat para penonton menghujani mereka dengan tepuk tangan, Leonis mengirim pesan telepati ke arah mereka.

“Apa yang kalian berdua lakukan di situ?!”

“Ah, Paduka—” Shary menoleh, menyadari kehadiran Leonis. “Anda terlihat sangat imut dengan pakaian itu, Paduka!”

“Grr..., kesampingkan soal aku. Apa yang sebenarnya kalian lakukan di sini?”

“Kami telah menyimpulkan bahwa penyamaran ini akan paling efektif untuk membaur di sini,” jawab Blackas sambil menjaga bola tetap seimbang di hidungnya.

“Tidak, menurutku kalian justru cukup menonjol.”

“Ini baik-baik saja. Seperti yang pepatah katakan, kami bersembunyi di depan mata.”

“...Hm. Baiklah, aku mengerti.”

Blackas memang ada benarnya. Daripada dengan mencurigakan bersembunyi di sudut-sudut gelap festival, beroperasi di tempat yang tidak terduga bisa jadi lebih efektif.

“Dan kami juga mendapatkan begitu banyak kue!” tambah Shary dengan penuh kebahagiaan.

Di bawah mereka ada sebuah kotak, diisi sampai penuh dengan berbagai macam suguhan yang diberikan oleh para penonton.

“...Jadi itu yang kamu incar.”

“Sa-Sama sekali tidak kok, Paduka! Ini semua cuman demi kamuflase—”

“Iya, iya, aku mengerti. Beritahu saja aku kalau ada sesuatu yang terjadi.”

“Sa-Saya mengerti...!”

Bahkan saat dia berkomunikasi dengan Leonis, Shary tidak menjatuhkan apa yang dia juggling.

“Gadis itu luar biasa,” puji Riselia sambil bertepuk tangan.

“Tapi tidakkah menurutmu gadis itu terlihat tidak asing, Nona Selia?” tanya Regina.

“Sekarang setelah kamu mengatakan itu, aku juga merasa seperti pernah melihatnya di suatu tempat sebelumnya...,” jawab Riselia, termenung.

“I-Itu pasti cuman imajinasi kalian saja. Ayo pergi!” desak Leonis, menarik lengan yukata Riselia.

“Tu-Tunggu, Leo!”

Mereka menyeberangi jembatan di atas sungai melalui kota, namun tiba-tiba—

Pop! Pop! Pop!

—Ledakan kecil mengguncang udara.

“...Merunduk!” Leonis berbalik ke arah para gadis dan mengatakan itu dengan keras.

“Leo?” tanya Riselia ketika beberapa ledakan lagi terdengar di atas langit.

“...Apa itu...mantra tingkat enam, Guren Zo?!”

“Leo, Leo...!” Saat dia melindungi ketiga gadis itu di belakang punggungnya, Riselia meletakkan tangannya di bahu Leonis. “Itu kembang api.”

“...” Leonis terdiam untuk sesaat, memproses apa yang baru saja Riselia katakan kepadanya.

“Kembang api Anggrek Sakura sangat indah!” sorak Regina.

Pop, pop, pop pop pop.

Kembang api bersiul nyaring saat mereka lepas landas, melukis langit dengan pola cahaya cemerlang seperti bunga.

“...Te-Tentu saja aku tahu kalau itu kembang api,” ucap Leonis, berdehem.

“Fufufu, tadi kamu mencoba melindungi kami ‘kan, Leo?” Riselia terkekeh.

“Ti-Tidak!”

“Kupikir di sana kita bisa melihati pemandangannya dengan lebih baik, Nona Selia!” Regina menunjuk ke suatu tempat dengan lebih sedikit orang.

Berdiri di bawah pohon buatan yang dimaksudkan untuk memurnikan persediaan air, Leonis menatap kembang api yang bermekaran di langit. Dia menyerahkan bagian atas pohon itu kepada Tessera, supaya Tessera bisa melihat pemandangan dengan lebih baik. Namun, sekalipun sudah berjinjit, agak sulit baginya untuk melihati kembang api dari tempat dia berdiri.

“Dari situ kau tidak bisa melihatnya dengan jelas ‘kan, Leo?” ucap Riselia, meletakkan tangannya di bawah lengan Leonis dan mengangkatnya.

“Se-Selia?! Tu-Turunkan aku!” protes Leonis, wajahnya memerah dan tubuhnya meronta-ronta di udara.

“Berhenti meronta-ronta, Leo♪.”

Orang-orang terdekat melihat mereka, tersenyum dan menertawakan pemandangan yang menghangatkan hati itu.

 

---

Cahaya yang goyah dari api unggun menerangi kegelapan. Sakuya duduk di ruangan kuil yang sunyi. Dia baru saja selesai memurnikan tubuhnya di mata air dan mengenakan pakaian pendetanya. Di hadapannya ada sebuah kotak kayu berisi pedang leluhur, harta suci yang diturunkan di keluarga kerajaan Anggrek Sakura.

“Anda terlihat sangat cantik, Putri Sakuya,” ucap Eika, berdiri di belakang Sakuya dan membantu persiapannya.

“Aku yakin Setsura akan jauh lebih cantik,” jawab Sakuya.

“Sudah hampir waktunya untuk ritual. Pastikan anda sudah siap.”

“Baiklah.”

Sakuya mengambil kotak kayu berisi pedang dan pindah ke altar. Ini adalah kebiasaan suci yang tidak boleh diganggu oleh siapa pun. Melakukan hal itu adalah tabu yang tak termaafkan.

Ritual itu dimaksudkan untuk mempersembahkan darah seorang pendeta kepada Raijinki, yang tertidur di dalam Tungku Mana kota ini. Baru setelah itu lah tarian Sakuya akan dipersembahkan dihadapan orang-orang.

Semenjak hari yang dia habiskan bersama Leonis, dia masih belum mendengar kabar terbaru dari Satuan Kenki. Tapi tidak diragukan lagi kalau mereka sedang bersembunyi di suatu tempat di kota ini, menunggu waktu untuk menjalankan rencana mereka. Mereka sudah tidak punya banyak waktu lagi. Bagaimanapun juga, kekuatan ketiadaan memakan jiwa mereka yang menggunakan Pedang Iblis.

...Satuan Kenki. Mereka mencari tempat untuk mati sebagai pejuang...

Ada kemungkinan besar mereka akan mencoba melakukan sesuatu selama klimaks ritual. Sakuya tidak tahu bagaimana mereka akan melakukannya, tetapi tujuan mereka adalah membangunkan Raijinki dan menggunakan dewa itu untuk memancing Void Lord yang telah menghancurkan Anggrek Sakura.

Hanya seorang pendeta—hanya aku yang bisa melepaskan Raijinki.

Sakuya melambat hingga berhenti. Duduk di tanah yang tertutup pasir putih adalah sebuah batu besar, terbelah menjadi dua. Itu adalah batu dewa—altar—yang diambil dari reruntuhan ibukota Anggrek Sakura.

Gadis itu meletakkan peti kayu berisikan harta suci di depan altar. Dia kemudian membuka peti dan mengambil pedang. Setelah mengiris dirinya sendiri dengan pedang itu, dia akan meneteskan darahnya di atas batu itu.

Namun, tepat saat dia hendak mengambil pedang...

“...?!”

Sakuya membeku, merasakan kehadiran samar orang lain. Melihat sekeliling, dia melihat sosok hantu di tengah lautan pasir putih. Itu adalah seorang gadis bertopeng, mengenakan pakaian putih Anggrek Sakura. Rambut biru panjang gadis itu tertiup angin, samar-samar diterangi oleh cahaya api unggun.

“...Siapa kau?” tanya Sakuya dengan menuntut tajam.

Tidak ada gadis normal yang bisa memasuki tempat ini. Raiou telah memerintahkan para agen Murakumo untuk membuat perimeter di sekitar kuil. Bahkan seekor semut pun tidak bisa sampai di sini tanpa terdeteksi.

Sosok itu tidak menjawab, tetapi melangkah maju dan memanggil katana di tangannya.

Sesaat kemudian, baja berkelebat dalam kegelapan.

---

Cahaya indah yang tak terhitung jumlahnya menerangi langit, menebarkan bayangan di atas tanah. Satuan Kenki berdiri tak terlihat, mengenakan pakaian pelindung anti-Void mereka, sabar menunggu waktu untuk menjalankan rencana mereka.

“Waktunya suadh dekat. Kita akan membalas dendam.”

Ketiga puluh tujuh Pengguna Pedang Iblis menatap ke dalam ketiadaan, masing-masing rela menyerahkan nyawa mereka jika itu untuk mengalahkan Void Lord yang telah menghancurkan tanah air mereka.

Mengorbankan orang-orang tak berdosa dari Assault Garden Ketujuh untuk melihat tujuan mereka terpenuhi pun tidak menggoyahkan tekad mereka sedikit pun. Mereka sudah menguatkan tekad mereka saat mereka merusak Pedang Suci yang diberikan kepada mereka oleh planet ini dan mengubahnya menjadi Pedang Iblis.

Aku sangat menyesal bahwa kami tidak dapat membawa Putri Sakuya ke pihak kami.

Gadis itu telah menolak tangan yang Uzan ulurkan padanya dan akan menanggung akibatnya.

Kemudian, saat itu...

“—Halo, Uzan. Kuharap operasinya berjalan dengan lancar?”

“...?”

Mendengar suara aneh yang tidak pada tempatnya datang dari terminal komunikasinya, Uzan mengerutkan keningnya. Suara itu adalah suara Finzel Phillet, atasan Satuan Kenki.

“Oh, anda rupanya. Kami sedang dalam operasi penting. Karenanya, jaga komunikasi seminimal mungkin—”

“Yah, yah, dengarkan aku dulu. Anggap saja ini sebagai salam perpisahanku padamu.”

“Apa yang anda inginkan?”

Sebagai sponsor mereka, Finzel adalah orang yang memberi mereka pakaian pelindung anti-Void, rencana penyusupan ke Assault Garden Ketujuh, tempat persembunyian..., dan bahkan Pedang Iblis mereka. Finzel benar-benar merupakan sebuah berkah untuk Satuan Kenki.

Tentu saja, ada beberapa orang di dalam kelompok mereka yang menganggap dermawan yang terlalu murah hati ini mencurigakan, tetapi semua kritik mereka dengan cepat hilang ketika pria itu membawakan seorang gadis kepada mereka. Gadis itu adalah Putri Setsura, penguasa mereka, orang yang telah meninggal di hari yang sama saat hancurnya tanah air mereka.

“Dengar, kami berterima kasih pada anda karena telah memberi kami tempat untuk mati dan kesempatan untuk membalas dendam.”

“Hm, begitu ya. Maaf, tapi aku harus meminta kalian untuk membayar hutang budi itu kepadaku sekarang.”

“Yakinlah kami akan melakukannya. Meskipun kami mungkin tidak bertarung untuk..., erm, apalagi sebutannya itu? Proyek... Pedang Iblis anda? Pryoek itu membutuhkan data pertempuran kami. Dan kami berjanji kami akan berusaha sekuat tenaga hari ini untuk memenuhi apa yang anda butuhkan.”

“Senang mendengarnya. Tapi dengar, aku seorang perfeksionis, jadi aku menyiapkan sedikit trik untuk memastikan kalian melakukan upaya terbaik kalian, tuan-tuan sekalian.”

“...Apa?”

Saat berikutnya, terminal informasi dalam setelan Uzan menyala, dan peri kecil bersayap, cukup kecil untuk duduk di telapak tangan, terbang keluar. Peri bercahaya itu mengepakkan sayapnya yang sehitam kupu-kupu swallowtail saat melesat di udara.

“Tuan Phillet, apa ini...?”

“Elemental Buatan Seraphim. Seorang utusan yang mampu menyampaikan suara dewi dengan bisikannya. Aku menggunakan jaringan Astral Garden untuk menyelundupkannya ke dalam baju pelindung yang kalian semua kenakan.”

“Apa...? Apa artinya ini?!”

“Kalian harus memaafkanku. Pedang Iblis kalian akan menjadi pengorbanan untuk kedatangan dewi yang kedua kalinya.”

Dan kemudian, peri itu, peramal sang dewi, membisikkan kata-kata masa depan—

“...A-ahhhh... Ahhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhh!”

Armor pelindung Satuan Kenki semuanya hancur...

Dan dari puing-puling pelindung itu, muncul tiga puluh tujuh Void mengerikan.



Post a Comment

Previous Post Next Post